Hari ini Dinar telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hajjah Hamidah meminta Azzam dan Dinar agar sementara tinggal di rumahnya, dengan alasan khawatir kalau Dinar kewalahan mengurus anaknya.
"Zam, kalau Ummi lihat-lihat, Abidzar ini mirip banget ya, sama kamu?" Hajjah Hamidah menimang cucunya dengan sayang.
Nama itu Haji Arifin yang memberikan. Jauh-jauh hari beliau telah berpesan, agar anak Azzam dan Dinar nantinya di namai Abidzar.
"Terang aja mirip dia, Ummi. Kan bapaknya? Masa mau mirip sama tetangga?" Dinar menyahut. Sedangkan Azzam hanya tersenyum menanggapi ucapan mertuanya.
"Zam, boleh Ummi minta sesuatu?" Hajjah Hamidah bertanya dengan hati-hati. Ia takut permintaannya akan menyinggung perasaan Azzam.
"Apa itu, Ummi?" Azzam bertanya dengan antusias.
"Ummi minta kalian pindah ke rumah sebelah. Kemarin baru saja Abi membelinya. Kasihan Pak Umar, tetangga sebelah kita, beliau sedang butuh uang." Hajjah Hamidah menjelaskan.
"Tapi, Ummi, apa tidak sebaiknya rumah itu disewakan saja?" Azzam bertanya, dia belum bisa menangkap arah pembicaraan ibu mertuanya.
"Begini, Zam ... sebenarnya Ummi ingin selalu dekat dengan Abidzar. Ummi sudah tua, capek kalau harus bolak-balik ke rumah kalian." Akhirnya Hajjah Hamidah mengutarakan maksudnya.
Azzam hanya terdiam, tidak tau harus menjawab apa. Terus terang ia merasa segan kalau terus menerima bantuan dari mertuanya, kemarin mobil, sekarang rumah. Harga dirinya sebagai laki-laki sangat terluka. Ingin sekali Azzam menolak permintaan ibu mertuanya, tapi ia tak sampai hati.
"Begini, Ummi ...."
"Maaf kalau Ummi terkesan ikut campur, Zam. Kamu jangan salah paham kepada Ummi. Tidak ada maksud Ummi untuk merendahkan kamu. Jangan kamu anggap Ummi dan abi sebagai mertua, anggaplah kami sebagai orang tua kamu, Nak. Segala yang kami miliki, kamu juga berhak memilikinya. Pindahlah, Nak. Ummi senang kalau dekat dengan kalian." Hajjah Hamidah sengaja memotong ucapan Azzam, ia tak ingin mendengar penolakan dari Azzam.
Azzam hanya bisa menghela nafas, sepertinya ia tak bisa menolak permintaan ibu mertuanya. Azzam menoleh sekilas ke arah Dinar.
"Aku nggak ikut-ikutan. Bukan kemauan aku." Dinar menggeleng dengan cepat sembari membela diri.
"Baiklah, kalau memang itu keinginan Ummi." Akhirnya Azzam hanya bisa mengiyakan permintaan ibu mertuanya. Bukan karena ia tidak tegas, tapi ia tak sampai hati menolak permintaan wanita itu.
"Alhamdulillah. Ummi akan segera menyuruh orang untuk merenovasi rumah itu. Minggu depan kalian bisa pindah." Hajjah Hamidah berkata dengan wajah berseri-seri. Terbayang sudah hari-hari bahagia yang akan menantinya.
Kedua putrinya tinggal berdekatan. Pagi hari ia akan mengunjungi rumah Dinar, sore harinya ia akan mengunjungi rumah Kia. Setiap hari ia akan leluasa bermain dengan kedua cucunya, Ebra dan Abidzar.
***
"Besar juga rumah baru lo." Adel menatap sekeliling rumah baru Dinar dengan penuh takjub. Ia berada di rumah Dinar dalam rangka syukuran rumah baru sekalian acara aqiqah Abidzar.
"Jangan lupa bilang masyaallah tabaraqallah, Del." Dinar mengingatkan Adel.
"Masyaallah tabaraqallah."
Adel berkeliling rumah Dinar hingga ke dapur. Ia berhenti di kolam renang. "Kalau gue renang di sini, bayar tiket berapa?" tanya Adel sambil memakan kue yang dihidangkan oleh Dinar.
"Lo kira rumah gue waterboom?" Dinar mencubit pinggang Adel. "Kalau buat lo, gratis. Asal lo bawa sendiri air dari rumah."
"Enak banget, ya, jadi anak orang kaya." Adel menyindir Dinar penuh rasa iri, dengki, hasut dan namimah hehe ....
Azzam yang sedang mengobrol dengan Fahri, merasa agak tersentil mendengar ucapan Adel. Ia beberapa kali berdehem sambil terus mengipasi Abidzar yang ada di gendongannya.
"Harta cuma titipan, Del. Kita juga nggak bisa milih, mau dilahirkan di keluarga mana. Gue juga kalau bisa milih, maunya dilahirkan di keluarga kerajaan. Di Inggris kalau bisa." Dinar merendah, untuk menaikkan mutu.
"Masalahnya, titipan lo banyak banget. Orang kayak bokap lo itu beruntung banget, ya. Surga dunia akhirat, dah."
"Aamiin, alhamdulillah." Dinar hanya bisa mengaminkan ucapan Adel.
"Tapi ada sayangnya ...." Adel sengaja menggantung ucapannya.
"Apa, Del?" tanya Dinar, merasa penasaran.
"Kenapa pakai cat hijau, sih? Kayak green screen aja. Lo mau jadi youtuber gaming?" Adel berkata absurd.
"Ya mana gue tau, Del. Ini rumah boleh dikasih orang tua. Gue masuk udah begini keadaannya. Tapi alhamdulillah gue bersyukur, seenggaknya gue nggak ditarik uang sewa hehe ...." Dinar menanggapi ucapan Adel dengan candaan.
Azzam mendekat ke arah Adel dan Dinar, sembari menggendong Abidzar. Begitu juga Fahri, yang juga sedang menggendong putrinya (nama anak Adel siapa? Gue lupa hehe ....)
Jadi, selagi 'mama-mama muda' sedang chit-chat, untuk sementara bapak-bapak siaga itulah yang menjaga bayi-bayi mereka.
"Hijau adalah warna kesukaan nabi Muhammad, Del. Selain warna putih dan hitam." Azzam memberikan penjelasan kepada Adel.
"Tapi 'kan kayak tabung LPG?"
Fahri merasa tak enak mendengar ucapan istrinya yang sembarangan. "Maaf, Zam. Istriku memang orangnya begitu. Kalau manusia diciptakan dari tanah, mungkin dia ini jenis yang diciptakan dari tanah longsor."
"Uda!" Adel protes dengan candaan Fahri. "Kok malah nge-roasting Adel, sih? Nyebelin, deh." Adel mencubit pinggang Fahri dengan kesal.
Mendengar teriakan Adel, kedua bayi di gendongan Azzam dan Fahri jadi menangis karena kaget. Kedua bapak-bapak itupun menjadi panik.
"Suara lo, Del. Udah kek suara speaker Simba punya tetangga gue." Dinar menggerutu sambil mengambil alih Abidzar dari gendongan Azzam.
"Kayaknya dia haus, Mas. Sini aku susuin."
Mendengar ucapan Dinar yang ambigu, Adel segera menyahut. "Kalian ini apa-apaan, sih? Ini 'kan masih sore, masih ada tamu juga, yaitu gue!"
"Pikiran lo jangan ngeres kenapa, Del! Sekali-kali otak lo itu bawa ke laundry, biar dicuci pakai Daia, pakai Bayclean juga." Dinar menarik jilbab Adel hingga maju ke depan.
"Ustadz, tolong istrinya ini dikondisikan, ya?" Dinar berbicara kepada Fahri. Wajah Fahri tampak memerah karena malu. Ia memang harus lebih giat untuk mendidik istrinya. Bukanya apa, kadang mulut Adel itu terlalu spontan, kecepatannya mengalahkan kecepatan cahaya.
"Del, anak lo juga kayaknya haus. Ayo kita susui bersama." Dinar mengajak Adel pergi ke kamarnya. Kepergian mereka diiringi tatapan kedua suami mereka.
"Istri kita ajaib, ya, Zam?" tanya Fahri seraya tersenyum.
Azzam setuju dengan ucapan Fahri. "Iya, Bang. Semoga kita selalu diberi kesabaran."
***
Lanjut apa nggak, nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.