Sampai di rumah, Dinar masih saja menangis. Membuat Bik Inah menatapnya khawatir. "Mbak Dinar kenapa, Mas?"
Azzam kesulitan menjawab pertanyaan Bik Inah. "Oh, itu ... abis nonton drakor di ponsel." Azzam terpaksa berbohong. Daripada menjawab, karena takut lahiran, Bik ....
Azzam segera menggiring istrinya ke kamar, kemudian mengunci pintunya. "Hey, tenang dulu." Azzam mengelus kepala istrinya dengan sabar. Resiko menikahi bocil, harus banyakin stok kesabaran.
"Aku nggak mau kesurupan kayak Kak Kia, Mas. Serem. Kayak di film exorcist." Sempat-sempatnya Dinar berkata absurd. Azzam hanya bisa menahan tawa.
"Sakitnya cuma sebentar, Sayang. Setelah bayi kita keluar, kamu akan lupa sakitnya." Azzam menjelaskan sambil membuka peniti jilbab Dinar, supaya istrinya itu tidak kegerahan. Kemudian Azzam merapikan rambut Dinar yang tampak berantakan dan agak lepek.
Dinar merasa agak baper dipanggil 'sayang' oleh Azzam. Jarang-jarang Azzam memanggil seperti itu. Paling kalau ada maunya saja.
"Kok yang sakit cuma aku aja, Mas? Kamunya enggak. Ini nggak adil namanya!" Dinar malah protes. Azzam kesulitan menjawabnya.
"Setiap kesakitan kamu itu, ada pahalanya." Azzam mengelus punggung Dinar.
Dinar merasa agak tenang setelah dihibur oleh Azzam. Tapi tetap saja ia masih terngiang-ngiang dengan teriakan kakaknya.
"Kalau kamu mau tau, sakitnya orang melahirkan itu seperti dua puluh tulang sehat dipatahkan bersamaan, Al-Quran surat Al-Isra' ayat 23."
"Mas, jangan nakutin!" Dinar bergidik ngeri.
"Bukan saya nakutin, ayatnya memang begitu. Memang sakit. Tapi sepadan sama pahalanya. Wanita melahirkan itu nyawa taruhannya, kalaupun dia meninggal, maka akan dikelompokkan dalam mati syahid."
Dinar hanya diam mendengar penjelasan Azzam. Di sisi lain ia merasa takut, di sisi lain ia ingin segera bertemu anaknya. Masa iya selamanya anaknya itu disimpan dalam kandungannya?
"Jangan banyak berpikir negatif. Jalani saja semua ketentuan Allah. Nggak semua wanita bisa mendapat kesempatan untuk mengandung dan melahirkan seperti kamu. Sekarang tidur. Jangan berpikir yang aneh-aneh." Azzam menepuk bantal Dinar, kemudian menyuruh istrinya berbaring. Ia pun ikut tidur di samping istrinya. Mengusap punggung Dinar, hingga wanita itu tertidur pulas.
***
Saat bangun dari tidur siangnya, Dinar segera dihampiri oleh Azzam. Pria itu mengulurkan ponselnya.
"Pesan dari ummi, katanya Kia udah lahiran dengan selamat. Anaknya laki-laki , beratnya sekitar 4 kilo, panjang 53 cm. Cakep, ya?" Azzam menunjukkan pesan dari mertuanya, ada juga foto keponakannya yang baru lahir. Wajah bayi mungil itu terlihat agak kebule-bulean, mengikuti gen ayahnya.
"Anak Adel cewek. Dia lahiran caecar karena pembukaannya lama. Dokter takut ada apa-apa dengan anaknya, sudah diinduksi tetap saja nggak mau keluar." Azzam menambahkan. Sambil mengambil alih ponsel dari tangan Dinar. Menggulir pesan dari Adel.
Dinar memperhatikan foto anak Adel yang cantik seperti bayi Korea. Maklumlah, Adelnya aja chindo ya 'kan ....
"Kapan kita ke sana?" Dinar antusias ingin segera kembali ke rumah sakit, padahal beberapa jam lalu ia trauma bukan main.
"Terserah saja, kamu maunya kapan. Kalau mau sekarang, ya ayo." Azzam bersyukur Dinar telah melupakan traumanya.
"Jadi pingin cepat lahiran, Mas. Pingin liat, nanti anak kita lebih mirip siapa, mirip aku atau kamu."
Azzam hanya tersenyum, dalam hati ia menggerutu. 'Dasar wanita labil. Untung kau cantik.'
"Eh, tapi aku nggak terima kalau lebih mirip kamu. Harus dominan ke aku, nggak mau tau! Kan aku yang hamil, yang lahiran. Kamu mah cuma investor aja!" Dinar malah senewen sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.