72

9.6K 976 30
                                    

Dengan polosnya Adel bertanya. "Ustadz kangen sama Adel?"

Fahri diam, ia tidak siap menerima pertanyaan Adel yang tiba-tiba. "Mungkin."

"Baiklah, kalau begitu Adel akan datang besok." Adel dengan mudahnya luluh begitu saja. Usahanya untuk move on gagal berantakan.

"Saya tunggu, Del."

Keduanya diam, suasana menjadi sangat canggung. Perut Adel mendadak melilit, jangan buang angin sekarang, jangan bikin gue malu di depan Fahri, wahai angin.

"Kamu nggak papa, Del?"

"Eng, nggak papa, Ustadz. Adel ingat tadi ada janji sama orang."

Fahri tampak kecewa, sebenarnya ia masih ingin berbicara dengan Adel.

"Saya pergi dulu, Ustadz." Adel pergi dengan terburu-buru. Hingga tanpa sadar sebelah sandal swallow pink kesayangannya tertinggal.

"Adel, sandal kamu!" Fahri memanggil Adel sembari memegang sandal Adel.

Adel tak sempat berbalik lagi, harga diri lebih penting. Sandal masih bisa dibeli, pabriknya juga masih buka, masih berdiri dengan megah.

"Adel-Adel. Kamu pikir, kamu Cinderella?" Fahri tertawa melihat kelakuan absurd Adel.

Di dalam kamar mandi, Adel mengeluh seorang diri. "Ini semua gara-gara Dinar." Adel merasa kesal dengan Dinar yang mengajaknya makan di warung Amigos kemarin. Adel terlalu kalap dengan sambalnya, akibatnya sekarang perutnya sakit. Bahasa Inggrisnya diare.

***

Kia hendak mencari baju gamis sebagai oleh-oleh untuk kawan-kawannya di Kairo. Rencananya seminggu lagi ia akan kembali ke sana.

Kawan-kawannya telah kembali terlebih dahulu ke Kairo. Beberapa hari setelah liburan mereka ke Bali.

Kia sedang menunggu belanjanya di hitung oleh kasir, jumlahnya lumayan banyak. Maklumlah temannya juga banyak. Tak lupa ia juga membelikan oleh-oleh untuk keluarga kakaknya, Thoriq.

"Maaf, Mbak. Apa tidak ada kartu lain yang bisa digunakan?" tanya penjaga kasir.

Kia mengerutkan dahi. "Memangnya ada apa, Mbak?"

"Kartunya tidak bisa digunakan," ujar penjaga kasir seraya mengembalikan kartu Kia.

Pasti ini karena pegawai abi-nya yang lupa mengirim uang ke rekening Kia. Biasanya tanggal 25 tak pernah lewat. Kia berusaha menghubungi abi-nya, tapi tidak diangkat. Mungkin ponselnya mati.

"Bagaimana, Mbak?" tanya pegawai kasir. Di belakang antrian pembeli mulai mengular. Sebagian besar menggerutu tak sabar.

Sok, kaya. Belanja banyak banget, taunya nggak punya duit!

"Sebentar, ya, Mbak." Kia berjalan keluar dari antrian. Ia masih berusaha menghubungi abi-nya. Ia juga berusaha menghubungi Dinar dan ummi-nya. Entah mengapa tak ada satupun yang menjawab panggilannya.

Pilihannya tinggal dua, menghubungi Fahri atau Azzam. Yang mana kedua pilihan itu tidak Kia sukai.

Kia semakin panik, keringat dingin mengucur di dahinya. Tak mungkin ia mengatakan tak jadi membeli barang yang sudah dikemas dengan baik oleh pelayan.

"Kia?"

Kia membalikan badan, bertemu seseorang yang mengenalnya, dalam situasi seperti ini adalah suatu keberuntungan. Tapi ia segera mematahkan argumennya, ketika yang ia temui adalah ... Fabian.

"Apa ada masalah?" tanya Fabian ketika melihat Kia diam saja.

"Mbak ini beli barang, tapi nggak mau bayar." Mbak kasir berkata dengan sinis.

"Bukan nggak mau bayar, Mbak ...." Kia berusaha membela diri.

"Ya udah, terus ini gimana bayarnya? Makanya, kalau nggak punya uang jangan masuk toko mahal kayak gini, Mbak. Buang-buang waktu kami saja!"

"Tapi, saya nggak ada niatan untuk mengerjai kalian."

Kia hampir menangis karena dimarahi di depan banyak orang. Fabian melihat perdebatan dua orang di depannya dengan geram.

"Mbak, bisa sopan sedikit? Anda ini sedang bicara dengan pelanggan. Memangnya anda tak pernah belajar tentang tata krama melayani pembeli?" Fabian malah memarahi mbak kasir yang judes itu.

"Tapi, Pak ...."

"Berapa semuanya? Saya yang bayar. Tidak usah mempermalukan istri saya seperti itu. Apa mau saya tuntut toko ini?" ancam Fabian.

"Maaf, Pak. Tapi ...."

"Tadi istri saya berusaha menghubungi saya, makanya agak lama. Ini semua saya yang salah. Saya yang telat transfer uang belanja ke rekening dia." Fabian sengaja mengarang, membuat Kia geram. Istri? Istri dari Hongkong.

"Ini kantor pengacara saya, ditunggu saja surat somasi dari saya." Fabian sengaja meninggalkan kartu namanya. Membuat wajah mbak kasir menjadi pucat pasi.

Melihat ada keributan, manager toko itu datang menghampiri mereka. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Ia bertanya dengan ramah.

"Pegawai anda mempermalukan istri saya di depan umum. Kalau gini caranya saya nggak terima. Anda 'kan tau saya adalah member di sini."

Tentu saja manager itu tau siapa Fabian. "Maaf atas kesalahpahaman ini, Pak. Kami, selaku karyawan toko ini memohon maaf yang sebesar-besarnya."

"Saya tidak ada urusannya dengan anda. Saya mau dia yang minta maaf." Fabian menunjuk mbak kasir di depannya.

"Lola, ayo cepat minta maaf." Manajer itu memberi perintah kepada anak buahnya.

"Maafkan atas kesalahan saya, Mbak. Lain kali saya ...."

"Sudahlah, saya malas belanja di sini lagi." Fabian segera meraih tangan Kia. "Ayo, Sayang. Kita belanja di tempat lain saja."

***




Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang