Setelah pulang dari kondangan ustadzah Nurul, ketiga pasangan Dinar-Azzam, Fahri-Adel dan Kia-Fabian mengadakan triple date di sebuah restoran.
Mereka merencanakan liburan bersama, hitung-hitung sebagai baby moon bagi kedua ibu hamil, Kia dan Adel yang sama-sama hamil empat bulan.
"Kalian hamil kok bisa barengan, sih? Kalian kerja kelompok apa bagaimana?" Dinar memandang iri kepada perut Kia dan Adel. Kedua bumil newbie itu hanya menanggapi pertanyaan Dinar dengan senyuman.
"Kamu kapan nyusul, Dek?" tanya Kia.
"Secepatnya, nanti aku selip kalian." Dinar menjawab absurd.
"Masa hamil manusia 'kan sembilan bulan. Mana bisa kamu selip? Kamu pikir sekolah akselerasi?" Kia menjawab sambil tersenyum.
"Halah, sombong. Mentang-mentang kalian udah hamil. Lo juga, Del. Nggak setia kawan amat. Hamil nggak ngajak-ngajak." Dinar mengelus perut Adel dengan gemas.
Adel tertawa cekikikan menanggapi keluhan Dinar. "Lo juga. Waktu itu main ninggalin gue aja, nikah nggak ngajak-ngajak. Sekarang gue selip, gue yang hamil duluan dong hehe ...."
Dinar makin manyun mendengar candaan Adel. Ia memandang sinis kepada Adel. "Tapi perut lo kok lebih kecil daripada perutnya kak Kia?"
Adel meraba perutnya, melirik perut Kia dan membandingkannya. "Iya, kok kecilan perut gue, ya?"
"Tak apa, Del. Itu karena Kakak rajin makan. Mas Fabian itu perhatian banget. Tiap pulang kerja selalu nanya, mau pesan apa? Kakak ngidam apa, pasti dituruti." Kia bercerita sambil melirik Fabian yang sedang asyik mengobrol dengan para suami yang lain.
"Emang Ustadz Fahri nggak perhatian, Del?" Dinar bertanya usil, sengaja ingin menggoda Adel.
"Siapa bilang. Dia perhatian, tau. Pas habis resepsi, kan gue pusing banget 'tuh karena kepala gue dipasang suntiang seberat tujuh kilo, mana gue nyalamin tamu banyak banget .... malamnya gue dipijitin 'kok sama Uda Fahri. Kata dia, kamu istirahat aja, besok aja kita malam pertamanya, gitu." Adel bercerita dengan polosnya. Membuat para suami terbatuk-batuk. Fahri memandang tajam ke arah Adel.
Dengan polosnya Adel malah bertanya. "Bener begitu 'kan, Uda?"
Fahri terbatuk lagi, kemudian ia berdiri dari kursinya. "Saya pamit ke toilet sebentar."
Azzam dan Fabian hanya tertawa melihat Fahri yang salah tingkah. Begitu juga dengan Dinar dan Kia.
Ponsel Adel bergetar, pesan dari Fahri.
Del, kamu jangan cerita masalah pribadi seperti itu. Tabu, Del. Saya 'kan jadi malu. Haduh, kamu 'tuh, ya ....
Adel tersenyum membaca pesan dari suaminya. Dinar ikut mengintip ke arah ponsel Adel.
"Kenapa ketawa gitu, Del? Lo dapat gratis ongkir dari sopi, ya?"
Adel malah menunjukkan ponselnya kepada Dinar. "Ini, laki gue malu."
"Lo, sih, Del. Udah jadi istri ustadz gaya bicara lo masih bar-bar aja. Kayak gue, dong. Anggun, santun dan bersahaja ...." Dinar membuat tanda v di dagunya.
"Iyelah, tu?" Azzam nyeletuk dalam bahasa Melayu, menirukan logat Upin Ipin. Membuat Dinar menjadi malu.
"Dek, sini pegang perut Kakak sambil bersholawat, semoga kamu cepat nyusul." Kia meletakkan tangan Dinar di perutnya.
"Kakak nggak takut, nanti kalau lahiran?" Dinar bertanya polos.
Kia tergelak. "Enggak, lah."
"Tapi tetangga kita kemarin lahiran meninggal loh, Kak?" Dinar berbicara lugas, ia mendapat lirikan tajam dari Azzam. Azzam menggeleng pelan sambil meletakkan telunjuk di bibirnya. Sebagai isyarat agar Dinar berhenti bicara macam-macam.
"Nggak papa, Kakak iklhas. Nanti dihitung mati syahid." Kia menjawab sambil tersenyum.
"Kia ...." Fabian protes, ia tak suka mendengar ucapan istrinya. Ia teramat takut kehilangan Kia.
"Insyaallah nggak akan terjadi apa-apa. Kamu bantu doa ya, Dek?" Kia meralat ucapannya.
"Serem, Kak. Dinar jadi takut mau hamil. Apa nggak bisa punya anak tanpa lahiran, kayak yang cerita timun suri ituloh?" Dinar berbicara semakin ngawur. Azzam hanya bisa memijat pangkal hidungnya. Baru sadar dirinya telah menikahi anak ingusan.
"Memangnya waktu pelajaran biologi kamu nggak hadir? Pasti keasyikan ngobrol sama Adel, deh." Azzam menyentil dahi Dinar.
"Bercanda aja 'kok. Dinar tau lah, kalau pingin punya anak itu harus ngadon dulu. Iya 'kan, Del?" Dinar menyenggol bahu Adel. Dengan polosnya Adel ikut mengangguk.
Azzam segera mengajak istrinya undur diri sebelum berbicara semakin absurd.
***
Dinar berdiri di depan kaca, ia memperhatikan bentuk tubuhnya baik-baik. Putar sana, putar sini bak model. Kemudian ia mengintip keluar sebentar, setelah itu ia mengunci pintu kamarnya.
"Semoga hamba tidak terlihat seperti badut, ya Allah."
Dinar mengambil sebuah bantal kecil berbentuk love, kemudian ia menyelipkannya di perut, di bawah gamisnya.
Ia kembali berlenggak-lenggok di depan kaca. "Ih, lucu banget. Gue kelihatan berwibawa gitu."
Ceklek ....
Azzam keluar dari kamar mandi, dengan rambut basah dan handuk menggantung di lehernya. Sepertinya baru saja keramas.
Dinar kaget melihat suaminya keluar dari kamar mandi, ia mengira Azzam sedang berada di belakang rumah.
"Loh, Mas? Bukannya kamu lagi benerin pompa air?"
Azzam mengerutkan dahi, aneh dengan ekspresi istrinya yang seperti baru saja melihat hantu.
"Udah selesai dari tadi. Ini saya baru aja mandi." Azzam mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Saat ia berjalan menuju lemari, ia sempat melirik ke arah perut Dinar. Kemudian ia tertawa. "Kamu ngapain, sih?"
Dengan malu Dinar segera membuang bantal di perutnya. "Nggak ngapa-ngapain."
"Lagi simulasi, ya?" Azzam meledek.
Wajah Dinar memerah, malu karena ketahuan main hamil-hamilan. Itu adalah permainan favoritnya dan Kia semasa kecil.
"Udah deh, Mas. Jangan ngledekin mulu. Kamu mau aku stres, terus nggak hamil-hamil?"
"Lah, kok jadi saya yang salah?" Azzam tertawa lagi. Membuat Dinar semakin kesal saja.
"Tapi janji, ya, Mas. Kalau aku hamil, kamu harus belikan baju hamil yang banyak." Dinar memeluk punggung Azzam yang sedang sibuk mencari celana.
"Buat apa? Kan baju gamis kamu sebagian besar potongannya longgar?" Azzam menjawab sambil tetap sibuk memilih celana.
"Ya supaya orang tau kalau aku lagi hamil, Mas. Makanya harus pakai baju hamil." Dinar merajuk manja sambil mempererat pelukannya.
"Aneh-aneh saja." Azzam menggeleng pelan.
Tingkah Dinar menjadi semakin aneh, ia mulai menggelitik telinga Azzam.
"Kenapa lagi? Tadi 'kan udah. Saya baru aja mandi loh." Azzam mengira Dinar mengajak 'bersilaturahmi' lagi.
"Kenapa, sih, Mas? Kan nggak papa kalau remidi. Orang air di rumah kita banyak. Mau mandi tinggal mandi. Toh pompa air udah kamu benerin." Dinar tak mau menghentikan kegiatannya.
Azzam membalikkan badan. "Hah? Yakin kamu?"
Dinar mengangguk cepat.
"Oke." Azzam melempar handuknya ke sembarang arah. "Well come to mobile legend."
***
Doain semoga Dinar cepat hamidun ya, Gaes. Kayaknya itu bocah udah ngebet benget hehe ....
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.