26

12.7K 1.2K 1
                                    

Dinar terbangun karena mendengar suara pintu diketuk, Ummi membangunkan dirinya untuk makan siang.

Rupanya semua itu hanya mimpi.

Sudah dua jam dirinya tertidur. Dinar bergegas membuka pintu, tampak Ummi masuk membawa nampan berisi makanan.

"Makan dulu, dari siang kamu belum makan apa-apa."

"Tapi ...."

"Makan di sini aja, barangkali kamu belum mau ketemu abi."

Dinar memang agak malas bertemu abinya, ia sudah menduga abinya itu akan berceramah panjang lebar tanpa mau mendengarkan pembelaannya.

"Ummi, aku nggak lapar." Dinar melirik makanan yang disajikan ummi untuknya. Semua makanan kesukaan Dinar, tapi entah mengapa sekarang ia sedang tak berselera menikmatinya.

"Makan, ya. Demi Ummi."

Akhirnya Dinar makan dengan terpaksa, ia tak tega melihat wajah penuh harap umminya. Ah, wanita itu memang yang paling mengerti akan keadaan Dinar. Ummi selalu berada di pihak Dinar, tak jarang wanita itu rela bertengkar dengan suaminya demi membela Dinar.

"Udah, ya, Mi. Dinar kenyang banget ini." Dinar meletakkan piringnya dimakan, makanan diatasnya masih tersisa setengah.

"Ya udah, kamu mandi dulu. Terus sholat."

Dinar mengangguk, ummi keluar kamar sambil membawa kembali nampannya. Sampai saat ini perempuan itu belum bertanya tentang masalah yang menimpa Dinar. Sepertinya ummi menunggu saat yang tepat agar Dinar siap menceritakan dengan sendirinya. Ummi memang selalu pengertian.

Abi melihat ummi keluar dari kamar Dinar, beliau segera mencegat istrinya itu.

"Sudah kamu tanya, masalah apa yang membuat dia kabur kemari?"

"Biarkan dia tenang dulu, Bi."

"Anak itu, kapan bisa dewasa? Sudah menikah kelakuan masih seperti anak kecil. Malu-maluin." Abi sengaja berkata agak keras agar bisa didengar Dinar.

Tentu saja Dinar mendengar ucapan abinya, jadi aku malu-maluin? pikir Dinar sedih. Ia merasa sangat tak berguna sebagai anak. Ia sadar, ia belum pernah membanggakan orang tuanya seperti kedua kakaknya.

Dinar berpikir untuk kabur saja, tapi ke mana?

***

Azzam berusaha menghubungi ponsel Dinar menggunakan ponsel anak didiknya. Kemarin ia meninggalkan ponselnya di nakas tempat tidur karena terburu-buru.

Sudah lima kali ia berusaha menghubungi istrinya itu, tapi tak juga di angkat. Azzam semakin resah, tak biasanya Dinar mematikan ponselnya. Kemudian ia berinisiatif menghubungi nomor rumah mertuanya, siapa tau Dinar sedang main ke sana. Ia sadar, sudah dua hari ia meninggalkan istrinya sendiri di rumah, pasti wanita itu merasa bosan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Ummi yang menjawab.

"Maaf, Ummi. Saya mau tanya, apa Dinar ada di sana. Dari tadi saya mencoba menghubungi tapi tidak bisa."

"Iya, memang lagi ada di sini."

"Bisa bicara sebentar, Ummi?"

"Tunggu, ya."

Ummi membangunkan Dinar yang sedang tidur. Sejak tiba di rumah ini ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur.

"Din, bangun. Suamimu nelpon." Ummi mengelus pelan kepala Dinar.

Dinar membuka mata perlahan, sebenarnya ia belum siap berbicara dengan Azzam. Tapi ia tak mau membuat umminya semakin khawatir memikirkan hubungannya dengan Azzam.

Dinar menerima ponsel itu, Ummi sengaja keluar kamar agar Dinar leluasa berbicara.

"Assalamualaikum." Suara Azzam terdengar dari seberang.

"Waalaikumsalam." Dinar menjawab datar.

"Kamu sejak kapan di rumah abi?"

"Sejak tadi pagi, maaf nggak ijin dulu."

"Nggak papa, lagian aku lagi nggak bawa ponsel. Ketinggalan di kamar."

"Kamu ... Mau oleh-oleh apa? Besok saya pulang."

"Nggak usah."

"Kamu kenapa? Kamu marah sama saya?"

"Kenapa harus marah?"

"Ya karena saya nggak ngajak kamu."

"Mungkin karena saya malu-maluin."

"Din? Ada apa?"

"Nggak papa. Gimana? Senang di sana."

"Iya, Alhamdulillah ponpes kita menang di dua katagori."

"Oh, gitu. Senang karena menang lomba, atau karena ada ustadzah Nurul di sana?"

"Dari mana kamu .... Din, saya bisa jelaskan."

"Nggak perlu. Aku nggak mau dengar. Oh, ya aku mungkin agak lama di rumah ini. Kamu nggak perlu jemput ke sini. Selamat menikmati waktu kamu di sana ...."

"Din, saya bisa jelaskan."

"Dinar?"

Dinar memutuskan panggilan secara sepihak, ia meletakan ponselnya di bawah bantal, berbaring dan memejamkan matanya. Ia hanya ingin tidur, dalam waktu yang lama. Kalau bisa jangan bangun lagi.

Sementara di seberang sana Azzam masih mencoba menghubungi berulang kali. Pria itu panik karena Dinar tak mau menerima panggilan darinya.

"Masalah apa lagi ini?"

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang