51

9.8K 997 6
                                    

Malam harinya, Fabian benar-benar datang ke rumah Dinar. Ini kali kedua ia pergi ke sana. Bedanya kali ini ia diterima dengan baik. Segala macam makanan dimasakkan ummi untuknya. Sudah seperti warung Padang, semua tersedia di atas meja.

"Makan yang banyak, ya, Nak Fabian. Semoga cocok dengan selera kamu." Hajjah Hamidah berkata dengan ramah.

Entah mengapa hati Fabian merasa hangat, ketika Hajjah Hamidah menyebut dirinya sendiri, Ummi. Fabian teringat mamanya yang sudah tak ia temui beberapa tahun terakhir. Mama dan papa Fabian tinggal di luar negeri, lebih tepatnya di kampung halaman papanya, Spanyol.

"Kalau diperhatikan, kamu ini mirip bule, ya?" tanya Ummi, setelah mereka makan malam.

Fabian hanya tersenyum simpul, menanggapi pertanyaan ummi yang polos. "Papa saya asalnya dari negeri matador, Ummi." Fabian ikut memanggil ummi kepada Hajjah Hamidah.

"Oh, asalnya dari Belanda." Hajjah Hamidah mengangguk pelan, seolah paham.

"El matadore itu julukan negeri Spanyol, Ummi. Ituloh negara yang letaknya di sekitar Tasik, belok kanan sedikit." Dinar menimpali ucapan ummi.

Semua tertawa mendengar candaan Dinar. Gadis itu memang paling pintar menghidupkan suasana.

Haji Arifin melihat Fabian tak menghabiskan makanannya. "Kenapa tak dihabiskan, Bi? Masakan ummi nggak enak?"

"Bukan, Om. Saya cuma kekenyangan." Ini bukan salah Fabian, tadi ummi yang terlalu antusias menyendok nasi untuknya.

"Tidak boleh begitu, harus dihabiskan. Nanti mubadzir. Selain untuk menghargai jerih payah petani." Haji Arifin menasihati Fabian.

"Iya, Om. Eh ..."

"Panggil saja Abi, itupun kalau kamu mau. Sebenarnya saya geli dipanggil om." Haji Arifin terkekeh. "Tapi jangan sembari menghalu, seolah kamu adalah menantu saya, ya?"

"Abi!" Dinar malu mendengar candaan Haji Arifin. Ia sungkan masa lalunya dibahas di depan Azzam.

"Makan pun ada aturannya, Abi?" tanya Fabian serius.

"Ada. Dalam agama kami semua ada aturannya, makan, minum, bersuci, semua ada aturannya."

Fabian terkagum-kagum mendengar penuturan Haji Arifin. "Boleh saya belajar, Abi?"

"Boleh saja. Kamu bisa ikut kajian di pesantren, setiap hari Senin-Kamis bakda Isya."

Fabian tampak bingung dengan penjelasan Haji Arifin. "Bakda Isya itu, sekitar jam berapa, Abi?"

Haji Arifin menjawab sambil tersenyum. "Sekitar jam tujuh."

"Apa harus menggunakan sarung dan peci?" tanya Fabian lagi.

"Nggak harus, yang penting rapi dan sopan. Nanti gampang, bisa pinjam punya Abi, banyak kok. Nanti diajari cara pakai sampai bisa. Nggak usah takut melorot hehe ...." Haji Arifin sempat-sempatnya berseloroh.

"Saya lihat jadwal dulu, Abi. Kalau sekiranya sempat, saya akan datang."

Haji Arifin senang melihat antusiasme Fabian. "Bagus. Ditunggu, ya?"

Dinar lega, akhirnya ayah dan mantan kekasihnya bisa berbaikan. Dalam hati ia berdoa, semoga Fabian benar-benar serius memperdalam agama Islam.

***

Dinar dan Azzam pulang ke rumah setelah beberapa waktu. Rumah dalam keadaan kotor dan berdebu. Hanya teras yang terlihat bersih, para tetangga Azzam yang baik hati menyapukan untuk mereka. Tadi mereka juga sempat datang untuk memberi selamat. Sebagian besar dari mereka tak percaya kalau Azzam terlibat kasus pelecehan. Mereka semua tau, Azzam yang mereka kenal tak akan berbuat serendah itu.

Setelah membersihkan rumah, Dinar dan Azzam duduk di ruang makan untuk menonton televisi. Kebetulan berita pembebasan Azzam disiarkan oleh salah satu stasiun televisi.

"Kamu masuk televisi, Mas." Dinar berusaha mengajak Azzam bercanda.

"Senang 'kan punya suami artis?" Azzam menanggapi candaan Dinar.

Tiba-tiba Azzam memeluk Dinar. "Kangen sama kamu."

"Me too."

"Terima kasih sudah mendukung dan memercayai saya. Sejujurnya saya nggak nyangka kamu mau mempercayai saya. Mengingat kamu sangat pencemburu, apalagi dengan ustadzah Nurul." Azzam terkekeh.

Dinar dengan cepat melepaskan pelukan Azzam. "Kok kamu masih ingat-ingat dia, Mas?"

Azzam mengeluh dalam hati. "Mulai lagi deh."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang