"Dinar, sebentar." Fahri menghentikan langkah Dinar yang baru saja akan keluar dari masjid. Beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai ikut kajian ustadz Fahri.
Dinar membalikkan badan, ia heran melihat Fahri berjalan menghampirinya. "Ada apa, Ustadz?"
"Beberapa hari ini saya tidak lihat Adel? Dia kemana, ya? Apa sakit?" Fahri bertanya dengan serius.
Apa ustadz Fahri diam-diam kangen sama Adel? batin Dinar.
"Saya nggak tau, Ustadz. Tadi waktu saya ajak, dia cuma bilang nggak bisa ikut. Itu saja."
"Mungkin dia sedang tidak enak badan. Maklum, sekarang sedang musim pancaroba." Fahri menjawab sendiri pertanyaannya. "Sebentar." Fahri berjalan ke arah tasnya yang berada di atas meja, kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Titip buat dia. Ini habbatussaudah, baik untuk menjaga daya tahan tubuh." Fahri mengeluarkan botol berisi kapsul ke arah Dinar.
"Terima kasih, Ustadz. Nanti saya sampaikan." Dinar menerima barang pemberian Fahri dengan canggung.
Kalau gini caranya, gimana si Adel nggak baper? Dinar mengeluh dalam hati.
"Saya pamit pulang, Ustadz."
"Iya, hati-hati di jalan." Fahri tersenyum dengan ramah.
Terlintas di pikiran Dinar untuk menanyakan perihal lamaran Fahri kepada kakaknya, Kia. Tapi ia urungkan. Nanti saja ia tanyakan kepada ummi.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Dinar masih saja memandangi botol pemberian Fahri. Azzam yang menjemputnya jadi heran. "Itu apa?"
"Habbatussaudah." Dinar menjawab singkat.
"Kamu nggak enak badan?" tanya Azzam sembari memeriksa kening Dinar.
"Aku nggak papa, Mas. Ini bukan buat aku, ini punya Adel, dikasih ustadz Fahri," terang Dinar sembari menyingkirkan tangan Fahri dari dahinya.
Sesampainya di rumah, Dinar masih saja mengamati botol itu. Membuat Azzam heran. "Ada apa lagi?"
"Aku lagi bingung, Mas. Enaknya, ini aku sampaikan ke Adel, atau nggak usah, ya?" Dinar meletakkan botol itu di meja.
"Ya harus disampaikan, namanya 'kan amanah." Azzam menjawab santai.
"Tapi, Mas. Kamu 'kan tau, Adel kayak gimana. Aku takutnya dia jadi baper, terus ngarep lagi sama ustadz Fahri. Sia-sia aja selama ini dia mencoba move on."
Azzam menggaruk kepalanya, ikut bingung memikirkan masalah Adel, yang tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan rumah tangganya.
"Lagian, ustadz Fahri pakai ngasih ginian segala. Apa coba maksudnya. Kalau emang nggak suka, jangan ngasih harapan ke anak orang kenapa?" Dinar malah menyalahkan Fahri.
"Dia memang baik ke siapa saja. Lagian kamu, kenapa tadi mau saja dimintai tolong? Kan sekarang kamu sendiri yang serba salah?" Azzam malah memihak Fahri, dan menyalahkan istrinya.
"Kok kamu belain dia, Mas? Dasar, laki-laki di mana aja sama. Nggak mau ngerti perasaan perempuan. Egois!" Dinar menatap sinis ke arah Azzam.
"Artinya, abi juga kayak gitu?" Azzam melontarkan pertanyaan menjebak.
"Kecuali abi, dan juga dua puluh lima nabi." Dinar malah membawa-bawa nabi.
Azzam tertawa mendengar jawaban Dinar. "Artinya, pak presiden termasuk?"
"Kecuali pak presiden."
"Takut salah ngomong 'tuh. Hati-hati aja habis ini ada tukang bakso lewat depan rumah." Intel maksudnya ....
"Mas, kamu kok malah nakutin aku, sih? Bukannya bantu mikir? Ini enaknya diapain obatnya?" Dinar mencubit paha Azzam.
"Udah dibilang, jangan ikut campur urusan yang nggak ada hubungannya sama kita. Kamu saja yang bendel. Sekarang malah bingung sendiri." Azzam mengusap kepala Dinar dengan gemas.
"Ayo, saya antar ke rumah Adel. Berikan saja titipan ustadz Fahri itu. Perkara dia mau baper apa nggak, bukan urusan kita."
"Tapi, kan ...."
"Setelah dari rumah Adel, kita mampir nonton."
Dinar seketika senang mendengar ucapan Azzam. "Beneran, Mas? Tapi aku nggak mau nonton perang lagi lho."
Dinar teringat Azzam yang mengajaknya nonton film dengan judul Terjadinya Perang Badar tempo hari.
"Enggak, kita mau nonton film romantis."
"Wah, beneran? Judulnya apa, Mas?" tanya Dinar antusias.
"Kisah nabi Adam dan Hawa. Romantis 'kan?"
Huhu ... gini amat punya suami ustadz, Dinar menangis dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.