Ekstra part 3

11.5K 889 12
                                    

Dinar mengajak Adel untuk pergi makan ke kafe langganan mereka. Dinar datang terlebih dahulu. Adel datang sepuluh menit kemudian.

"Lama banget, sih, Del? Gue udah capek nungguin lo." Dinar menggerutu.

"Elah, sepuluh menit doang. Masi lamaan waktu kita ngantri buat dihisab di padang Mahsyar pas hari kiamat." Adel membuka buku menu. Kemudian memanggil pelayan untuk memesan sphaghetti.

"Gue tadi masak dulu. Lo tau 'kan sekarang gue ada suami yang harus gue rawat. Nggak mungkin gue pergi main begitu aja." Adel menjelaskan sembari sibuk membenahi jilbabnya yang doyong kesana kemari karena tertiup angin.

"Ciye, jadi sekarang lo bisa masak?" Dinar meledek Adel.

"Masak telor doang. Orang gerakannya kayak orang dirigen aja, bisalah gue, gampil." Adel menjentikkan jarinya dengan pongah.

"Yang ada suami lo bisulan, kalau lo kasih makan telur melulu." Dinar mencibir Adel.

"Biarinlah, suami gue ini. Lagian obat bisul juga banyak dijual di apotik. Btw, kok lo jadi perhatian sama suami gue?" Adel memandang curiga ke arah Dinar.

"Jangan curiga sama gue, Del. Aman laki lo sama gue. Buat apa juga gue ngerebut laki lo. Gue juga punya kali, sama-sama ustadz juga." Dinar membantah ucapan Adel.

"Tapi laki gue lebih tokcer, dong hehe ...." ujar Adel sembari mengelus perut buncitnya dengan bangga.

Dinar tersenyum masam. "Belagu lo, Del. Btw, bagi tips ngapa? Gue juga pingin punya perut kayak lo. Gemes liatnya, pingin nendang melulu."

Adel segera mengamankan perutnya setelah mendengar ucapan Dinar. "Sikopet, lo. Ini isinya calon ponakan lo. Bukan helem bogo. Onty macam apa lo?"

"Becanda, Del." Dinar meringis melihat wajah panik Adel.

***

Azzam baru saja selesai mengerjakan tugas kantornya. Akhir-akhir ini Dinar teramat manja. Selalu saja menyuruhnya pulang cepat. Padahal Azzam ingin mengambil lembur. Lumayan 'kan untuk tambahan.

Azzam masuk ke kamarnya, ia ingin segera beristirahat. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Loh, Mas. Kok kamu udah mau tidur, sih?" Azzam menoleh. Tampak Dinar yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan baju 'halal' kali ini motifnya macan, ya.

Azzam heran, entah kapan istrinya itu membeli baju model begitu. Semakin lama, koleksi Dinar semakin bertambah. Ada yang warnanya pink, navy, ungu, hitam, dan merah. Yang warna terakhir itu favorit Azzam.

"Kamu gimana, sih, Mas? Padahal aku dari tadi udah nungguin kamu loh." Dinar menggerutu.

Azzam memijat tengkuknya dengan canggung. Sebenarnya ia senang-senang saja dengan perubahan Dinar yang akhir-akhir ini semakin rajin 'beribadah' tapi nggak setiap hari juga kali ....

"Malam ini libur dulu, nggak papa 'kan ya?" Azzam bertanya takut-takut.

Dinar langsung marah mendengar ucapan Azzam. "Ih, kamu kok nolak aku, sih, Mas? Kalau aku nolak kamu aja, hukumnya dosa. Nggak adil ini namanya ...."

Azzam menghampiri istrinya, ia memijat pundak Dinar, menenangkan perempuan itu. Dinar menepis tangan Azzam.

"Kalau gini kapan aku hamilnya?"

Azzam tertawa mendengar ucapan Dinar. Ia  mengelus pelan kepala istrinya. "Ya Allah. Perempuan ini udah pingin banget hamil, ya?"

"Aku bosan diledekin Adel melulu. Padahal aku udah doa loh, usaha juga giat banget. Masih aja nggak hamil-hamil. Kan kesel." Dinar menghentakkan kakinya.

"Astagfirullah. Kamu nggak boleh begitu. Kita manusia, hanya bisa berdoa dan berusaha. Nggak boleh kita menyesali takdir Allah. Kamu tau, nabi Zakaria aja berdoa selama 80 tahun, baru diberi keturunan. Allah tau yang terbaik bagi kita. Tugas kita hanya menjalani takdir dengan ikhlas. Ada, atau nggak ada anak, kita harus tetap bahagia. Kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan." Azzam menasehati istrinya panjang lebar.

Pikiran Dinar mulai terbuka. Ia merasa ucapan Azzam benar adanya. Ia tak bisa mendikte Allah untuk memenuhi keinginannya. Baik menurutnya, belum tentu baik menurut Allah.

"Maafin aku, ya, Mas ...." Dinar memeluk Azzam dari samping.

Azzam balas memeluk Dinar. "Jangan minta maaf sama saya. Minta maaf sama Allah, istighfar. Ikhlas."

"Astagfirullah."

Dinar merasa hatinya lebih tenang setelah mendengar nasihat dari Azzam. Tak sia-sia punya suami ustadz.

"Terus ini gimana? Lanjut apa gimana?" Azzam bertanya sambil terus mengelus punggung Dinar.

"Nggak usah, deh. Kamu kayaknya males gitu." Dinar melepaskan pelukannya.

"Kan kamu udah terlanjur dandan gini? Beli dimana baju macan gini?" Azzam mengoda Dinar.

"Beli di mall, sama Adel tadi."

Azzam tersenyum saja, sejujurnya pakai baju model apapun istrinya itu tampak cantik, pantas-pantas saja. Lebih pantas lagi kalau tidak pakai apa-apa. (Nakal kali kau, Zam hehe ....)

"Aku kira kamu bakalan suka motif leopard gini. Mana mahal. Tapi emang bahannya adem, sih." Dinar menghabiskan hampir setengah juta untuk membeli baju tidur itu. Kalau Azzam tau, pasti migrennya akan kambuh seketika.

"Lain kali pakai yang merah saja. Saya suka yang itu."

***

Merah apa, nih, pak Ustadz? Merah bata, maroon, apa fuchia? 😁

Masih mau lanjut?

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang