46

9.8K 970 10
                                    

Dinar sedang ada kelas waktu itu. Tiba-tiba ummi menelponnya, membawa berita yang tak enak. Ummi mengatakan Azzam sedang ditahan oleh pihak berwajib. Untuk kasus apa ummi juga belum tau.

Dinar menerima pesan ummi dengan tangan gemetar. Kalau saja tak ingat sedang ada di dalam kelas, pasti ia akan menangis tersedu-sedu. Dinar menduga Azzam baru saja menabrak orang di jalan.

Setelah meminta ijin kepada dosennya, Dinar bergegas menuju kantor polisi. Ia berjalan sambil berlari, hingga sandalnya putus. Dinar berjalan terseok-seok menuju gerbang, hendak menghubungi ojek online, taksi atau transportasi apapun. Yang penting ia bisa cepat sampai di kantor polisi.

Ummi mengatakan akan langsung ke kantor polisi bersama abi. Beliau meminta agar Dinar tak perlu panik dan berhati-hati di jalan.

"Dinar, mau kemana?" tanya Fabian yang baru saja keluar dari gedung kampus.

Dinar tak menjawab, wajahnya pucat pasi, linglung. Membuat Fabian merasa khawatir. "Kamu sakit?"

Dinar menggeleng, hampir saja ia menangis. Dengan terbata-bata ia bicara. "Suamiku ... ditahan po ... lisi. Hua ...." Dinar tak bisa menahan tangisnya. Ia takut Azzam akan dipenjara dalam waktu yang lama.

"Kamu yang tenang. Mari saya antar." Fabian mengajak Dinar ke parkiran, untuk mengambil mobilnya.

Di dalam mobil, Dinar hanya bisa diam sambil sesekali menangis. Entah berapa banyak tissu yang sudah ia gunakan. Fabian melajukan mobil dengan kencang membelah jalanan yang tak begitu ramai. Perjalanan ke kantor polisi yang hanya beberapa menit terasa begitu lama.

Keluar masuk kantor polisi adalah makanannya sehari-hari. Tapi kali ini ia merasa sangat resah, karena memikirkan orang di sampingnya.

"Tenanglah, semua akan beres." Fabian berusaha menenangkan Dinar. Tak berpengaruh, justru tangis Dinar semakin kencang.

"Kalau boleh tau, suamimu tersangkut kasus apa?" tanya Fabian penasaran.

"Kayaknya nabrak orang."

Fabian tersenyum samar. "Cuma kasus biasa. Mudah dibereskan."

***

Sesampainya di kantor polisi, Dinar langsung menghambur masuk. Ia tinggalkan saja Fabian. Pria itu nampak berbincang dengan petugas setempat, kenalannya.

Ummi dan abi-nya telah sampai terlebih dahulu. Ummi menangis tersedu-sedu melihat kedatangan Dinar. Beliau segera memeluk Dinar dengan erat sambil menepuk punggungnya. "Yang sabar, ya, Nak."

Dinar jadi semakin khawatir, apa suaminya tersandung kasus berat?

Dinar mengedarkan pandangan, nampak suaminya yang sedang diinterogasi oleh petugas. Yang membuat Dinar terenyuh adalah, kedua tangan Azzam dalam keadaan terborgol. Seolah ia adalah seorang penjahat kelas berat.

"Bi, ada apa sebenarnya?"

Haji Arifin memeluk Dinar, ia berbisik di telinga putri bungsunya itu. "Dinar, yang sabar. Percaya sama suami kamu. Dia tidak bersalah."

Haji Arifin mulai bercerita, bahwa Azzam tersandung kasus berat, yaitu pencabulan. Seorang wali santri wanita melaporkan dirinya ke polisi.

"Nggak, itu nggak mungkin. Dinar nggak percaya. Mas Azzam nggak mungkin begitu. Ini pasti salah. Abi, kasih tau mereka. Ini fitnah, ini pasti ada kesalahpahaman."

"Ada bukti CCTV, Dinar. Di sana jelas terlihat Azzam bersama santri itu." Ummi ikut berbicara.

Dinar diam. Ia sekolah hukum, tentu ia tau kalau CCTV bisa dijadikan sebagai barang bukti kasus pidana. Dan mungkin saja bisa memberatkan Azzam.

"Sabar, Nak. Percayakan semua pada hukum yang berjalan. Kita hanya bisa berdoa. Abi akan berusaha mencari pengacara untuk membela suami kamu."

"Tolong mas Azzam, Abi. Dinar yakin dia nggak salah." Dinar tersedu-sedu hingga menarik perhatian orang yang ada di ruangan itu.

Tiba-tiba Fabian datang menghampiri mereka. "Kalau boleh, ijinkan saya yang menangani kasus ini."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang