28

13.7K 1.1K 5
                                    

Ummi terbangun tegah malam, beliau hendak mengambil minuman di dapur. Tampak ada bayangan putih meringkuk di sofa.

Apa poci, ya?

Ummi memberanikan diri menghampiri sosok itu. Kenapa harus takut? Toh derajat manusia lebih tinggi daripada setan.

"Ya Allah, Nak Azzam ngapain tidur di ruang tamu?" Ummi terkejut karena ternyata sosok itu adalah Azzam.

"Nggak papa, Ummi. Di dalam panas." Azzam beralasan.

"Pasti karena Dinar, anak itu benar-benar!"

"Nggak papa, Ummi. Ini saya yang mau sendiri kok."

Ummi mengabaikan penjelasan Azzam. Beliau malah berjalan ke kamar Dinar dan menggedor pintunya.

"Dinar, bangun!"

"Kenapa, Ummi?" Dinar membuka pintu sambil mengucek matanya.

Di saat sang suami tidur di sofa, ia malah enak-enakkan tidur di kamar. Ummi hanya bisa mengelus dada.

"Berdosa sekali kamu, ya? Suami dari luar kota capek-capek malah kamu suruh tidur di luar?"

"Dinar nggak nyuruh, Ummi. Orang dia yang mau sendiri."

"Nggak bagus kayak gitu. Mau jadi istri durhaka kamu?"

"Lebay banget sih, Mi."

"Panggil dia, cepat!"

"Nggak mau ah, Ummi." Dinar menolak perintah ummi-nya.

"Dinar, apa perlu Ummi panggilin abi buat nyeramahin kamu?" ancam ummi. Kalau abi-nya yang ceramah bisa-bisa subuh baru kelar.

"Iya-iya."

Dinar berjalan ke arah sofa sambil manyun. Azzam merasa bersalah karena Dinar dimarahi ummi-nya.

"Pindah ke kamar sana." Dinar memerintah Azzam dengan malas.

"Katanya nggak mau sekamar?" tanya Azzam polos.

"Udah, buruan pindah."

"Kenapa tiba-tiba nyuruh pindah? Kangen, ya?" goda Azzam. Ingin rasanya Dinar menyetrum suaminya itu menggunakan raket nyamuk yang ada di meja.

"Ummi yang nyuruh, nggak denger?"

Azzam meraih tangan Dinar dan menyuruhnya duduk. "Jangan kesal lagi. Saya mohon, percaya sama saya, hm?"

Dinar tampak berpikir. Azzam tidak sepenuhnya salah. Ia juga turut bersalah karena bertemu Fabian waktu itu. Bisa dibilang mereka berdua impas.

"Ayo kita berjanji. Mulai sekarang nggak boleh saling curiga lagi." Azzam mengulurkan kelingkingnya, disambut oleh Dinar.

"Oke."

"Alhamdulillah." Azzam lega karena peperangan ini bisa diakhiri secara diplomatis hehe ....

Azzam mengemasi bantal dan selimutnya menuju kamar. Sekarang ia bisa tidur dengan tenang.

***

"Mas, Ada yang pingin aku bicarakan sama kamu." Dinar menghampiri suaminya yang sedang sibuk dengan laptopnya. Tadi pagi mereka baru saja pulang ke rumah Azzam.

"Apa?" Azzam menutup laptopnya.

"Aku mau kuliah, sekalian mau belajar agama di pesantren abi."

"Alhamdulillah, bagus itu. Saya setuju." Azzam menanggapi dengan antusias.

"Besok aku mau mengurus segala sesuatunya. Kemungkinan akan pulang sore."

"Mau saya antar?"

"Nggak usah. Sendiri aja," tolak Dinar.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang