Ekstra part (Fabian-Kia)

12.4K 915 18
                                    

Bedug magrib sudah berkumandang. Pasangan pengantin baru, Kia dan Fabian sedang berbuka puasa di rumah baru mereka. Hanya terletak beberapa blok dari rumah haji Arifin.

Kia memakan kurma dalam jumlah ganjil, seperti sunnah Rasulullah. Jika Fabian hanya memakan satu buah, maka Kia memakan tiga belas buah.

"Kamu suka sekali kurma, ya?" Fabian tersenyum melihat tingkah laku istrinya.

"Semua yang manis aku suka." Kia menjawab sambil mengumpulkan biji kurma yang berserakan di depannya.

"Apa nggak terlalu banyak. Saya aja makan satu, gigi udah ngilu." Fabian meringis melihat Kia yang memakan buah kurma yang ke lima belas.

"Yang penting jumlahnya ganjil, Mas." Kia mengelak.

"Seratus lima juga ganjil." Fabian menyahut sambil terkekeh.

"Kamu kenapa, sih, Mas? Makan kurma aja dimasalahkan. Apa karena ini kurma mahal?" tanya Kia dengan cemberut.

"Bukan karena mahal, sesuatu yang berlebihan 'kan nggak baik. Lagipula kamu menyiapkan banyak makanan. Nanti kamu keburu kenyang makan kurma saja. Terus yang lain siapa yang makan?" Fabian menunjuk piring terhampar di depannya. Isinya ada aneka gorengan, kolak, mi glosor, buah, kue basah dan lain sebagainya. Maklum jenisnya banyak, tadi Kia terlalu kalap saat berburu takjil.

"Buka puasa pertama harus heboh, Mas. Lagian aku 'kan belum tau, kamu sukanya makan apa. Ya udah, aku beli aja semua. Nanti kalau nggak habis, aku bawa ke pesantren. Lumayan buat cemilan santri yang lagi tadarus. Jadi nggak mubasir." Kia beralasan sambil memakan kolak pisangnya.

Kia merasa aneh saat melihat Fabian hanya memakan pisangnya saja, dan menyisakan kuah santannya. Pria itu lebih memilih meminum air mineral saja.

"Mas, ini aku udah siapkan teh anget, ada es campur juga. Eh, kamu malah minum air putih aja loh." Kia protes karena usahanya untuk menyiapkan takjil serasa tidak dihargai oleh Fabian.

"Saya kurang suka manis."

"Tapi, Mas. Kan sunnah kalau puasa berbuka dengan yang manis?" Kia protes.

"Kurma aja cukup. Biar cuma satu yang penting ganjil. Memangnya kamu nggak pernah baca artikel, kalau minum es, disertai makan bersantan, dan juga gorengan kurang baik bagi kesehatan. Usus kita ini bisa kaget, kalau setelah seharian istirahat langsung dihantam makanan berat." Fabian memang tipe orang yang selalu menjaga kesehatan, ia hanya makan yang baik untuk tubuhnya. Baginya kesehatan adalah aset yang harus dijaga.

"Berlebihan kamu, Mas. Yang penting kita baca doa sebelum makan. Insyaallah nggak jadi penyakit." Kia mencibir argumen suaminya. "Belum pernah denger 'tuh. Ada orang yang mati setelah berbuka dengan gorengan dan es. Aku, kalau di rumah ummi, malah buka sama nasi Padang."

"Cuma berjaga-jaga Kia. Saya lebih senang makan yang sehat, jauh dari gula dan minyak."

"Fix, batu rebus."

Fabian tertawa mendengar ucapan Kia. Nampak sekali ia telah membuat istrinya kesal.

"Saya cuma ingat nasihat abi, makan secukupnya, makan makanan yang baik, lagi menyehatkan. Halalan toyyibah."

"Iya, Pak Ustadz." Kia malah meledek suaminya.

"Nah, kalau pisang ini bagus. Mengandung serat, baik untuk pencernaan. Kalau santan jangan." Kata Fabian sambil meniriskan kolaknya.

"Terserah kamulah, Mas. Terus kamu besok mau buka pakai apa?"

"Nggak perlu siapin apa-apa. Saya liat buah di kulkas masih banyak. Makan beratnya yang biasa saja."

Kia mulai hafal kebiasaan suaminya yang jarang makan nasi. Pria itu lebih suka makan roti atau kentang. Memang dasarnya turunan bule. Katanya nasi memiliki kalori yang lebih tinggi.

"Mas, besok ummi sama abi, mau datang buat buka puasa bersama. Boleh?" Kia meminta ijin sebagai formalitas.

"Ya boleh lah. Tapi kayaknya saya nggak bisa pulang tepat waktu. Ada janji sama klien. Kita lihat nanti, ya. Saya usahakan pulang cepat. Kalau nggak ada saya, nggak papa 'kan?"

"Yah, kok gitu, sih, Mas. Ini yang datang mertua kamu loh." Kia nampak kecewa. Beberapa minggu berumah tangga, ia sudah paham alur kehidupan suaminya. Sering pulang malam karena alasan pekerjaan. Tapi Kia masih bersyukur karena setiap hari Fabian masih ingat pulang ke rumah.

"Yah, namanya juga pekerjaan. Harus profesional." Fabian mengelus punggung Kia, berusaha meminta pengertian.

"Klien kamu kok gitu banget, sih? Nggak bisa apa ketemuannya lain kali? Waktunya orang buka puasa sama keluarga loh." Kia mengeluh lagi.

"Kebetulan klien saya ini ekspatriat. Kalau lusa dia nggak bisa, ada perjalanan bisnis ke luar negeri."

Fabian berusaha memberikan penjelasan kepada istrinya. Fabian mulai merasa ada alur yang berbeda dalam hidupnya. Kalau biasanya ia santai saja berkerja tanpa kenal waktu. Tapi sekarang berbeda. Ada sebagian waktu yang perlu ia sisihkan untuk istrinya.

"Terus kamu sholatnya gimana, Mas?" Kia khawatir Fabian melalaikan sholatnya karena sibuk bekerja.

"Insya Allah nggak pernah bolong. Kalau cuma lima atau sepuluh menit, bisalah curi-curi waktu."

Kia lega mendengar penjelasan suaminya. Tiba-tiba ia teringat tentang uang belanja yang belum diberikan Fabian selama mereka menikah.

"Mas besok aku mau belanja. Buat persiapan menjamu ummi sama abi."

"Belanja sendiri bisa 'kan?" tanya Fabian kurang peka.

"Bisa, tapi 'kan ... duitnya nggak ada." Kia berkata malu-malu.

Fabian mengerutkan dahi. "Masa? Udah ditransfer kok sama asisten saya. Coba cek akun kamu."

Kia segera mengambil ponselnya. Ia memang jarang memeriksa rekening, paling kalau ingin berbelanja online saja. Ia mengira Fabian akan memberikan uang belanja dalam bentuk cash.

"Jumlahnya beneran segini, Mas?" tanya Kia kaget.

Fabian mengerutkan dahi lagi. "Kenapa? Dua puluh juta untuk grocery kurang?"

"Ini buat sebulan apa setahun, Mas?" Kia memastikan lagi.

"Sebulan, Kia. Masa setahun." Fabian tersenyum geli.

"Banyak banget, Mas. Ini semua gaji kamu aku yang pegang?" tanya Kia heran.

"Nggak semua, Kia. Selama ini saya pakai konsultan keuangan buat manage uang saya. Ada juga sebagian yang dialokasikan untuk investasi. Kenapa? Kamu mau pegang keuangan saya? Nggak papa, malah bagus. Jadi saya nggak perlu bayar konsultan lagi."

"Eh, enggak, Mas. Bisa pusing aku." Kia buru-buru menolak. Mengatur uang belanja bulanan saja ia belum pengalaman, apalagi mengatur yang lain.

"Mas, boleh aku nanya?" tanya Kia ragu.

"Boleh, tanya aja."

"Memangnya gaji kamu berapa sih, Mas?" Kia bertanya dengan polos.

***

Cut sampai sini, entar kepanjangan hehe ....
Penasaran nggak sama gajinya suaminya Kia? 😁

Rencananya, mau bikin ekstra part juga buat Adel-Fahri sama Dinar-Azzam. Kalau kalian mau, sih ....

Kalau nggak mau juga nggak papa. Lanjut, apa mau sampai sini aja?


Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang