"Sering-seringlah main kesini, datang saja, tidak usah bawa oleh-oleh segala," pesan Hajjah Hamidah saat mengantar Fabian ke pekarangan.
"Iya, Ummi. Terima kasih sarapannya." Fabian membalas dengan ramah.
"Oh, iya. Tadi kamu mencari abi, ada perlu apa, ya?" Hajjah Hamidah baru ingat menanyakan keperluan Fabian datang.
"Oh, itu. Saya berencana memberikan bantuan untuk anak-anak di pondok abi. Tidak banyak, hanya berupa sarung, buku-buku dan beberapa sembako."
"Terus, mana barangnya?"
"Besok, Ummi. Tadi saya nggak bisa bawa, mobil saya nggak muat."
Hajjah Hamidah mengamati si oyen, mobil kesayangan Fabian. "Kamu, sih. Untuk apa membeli mobil gepeng begini? Mana pintunya hanya dua. Beli mobil itu yang kayak punya abi, pintunya banyak, besar, muat banyak." Hajjah Hamidah berkata dengan polosnya. Belum tau saja, kalau mobil Fabian ditukar dengan mobil suaminya, akan dapat 10 buah.
"Besok saya ganti, Ummi," kata Fabian sambil tersenyum.
"Eh, Ummi tadi hanya bercanda 'kok." Hajjah Hamidah tak menyangka candaannya ditanggapi serius oleh Fabian.
***
Keesokan harinya, Fabian benar-benar datang membawa mobil baru, dengan bagasi penuh dengan barang sembako.
Haji Arifin memerintahkan Kia untuk ikut serta menemani mereka ke ponpes, untuk membantu mendistribusikan bantuan dari Fabian.
"Nanti di sana ada Azzam dan juga Dinar, ada juga ustadz Fahri."
Kia mengeluh, orang-orang yang disebutkan oleh Haji Arifin tadi, adalah daftar orang yang tak ingin ditemui Kia untuk saat ini.
"Tapi, Bi ...." Kia berusaha menawar.
"Sudah, jangan terlalu banyak membantah. Nanti keburu kesiangan." Haji Arifin duduk di kursi depan, di samping Fabian. Sedang Kia duduk di belakang, seorang diri.
Fabian masih sempat melirik Kia yang cemberut melalui spion tengah. Hal itu sempat dipergoki oleh Haji Arifin. "Heh, zinah mata. Mau, nanti di akhirat mata kamu dicolok malaikat menggunakan tusuk pentol?"
"Eh, enggak, Abi. Tadi mau lihat bodi belakang mobil, takutnya mentok ke pagar."
"Kalau bohong nanti hidung kamu yang seperti paruh burung beo itu jadi makin panjang kayak jembatan Suramadu, mau?"
"Eng-enggak, Abi." Fabian segera menjalankan mobilnya. Tanpa berani melirik ke belakang lagi. Ngeri juga kalau nanti matanya ditusuk pakai tusukan pentol.
***
Sesampainya di ponpes Al-Ma'ruf milik Haji Arifin, Fabian segera disambut oleh para pengurus ponpes, diantaranya ada Azzam dan Dinar.
"Mas, makasih oleh-oleh yang kemarin. Kaosnya bagus." Dinar mengucapkan terimakasih karena Fabian memberikan oleh-oleh padanya tempo hari. Kaos oblong lengan panjang bergambar Kangguru. Azzam juga dapat kok.
"Syukur kalau kamu suka." Fabian menjawab santai.
"Ekhem." Azzam yang berdiri di samping Dinar berdehem dengan keras. Sengaja ingin melerai percakapan antara istrinya dan mantan pacarnya.
Ketika Dinar akan membantu mengangkat kardus berisi sarung, Fabian mencegah. "Eh, jangan. Ini berat. Biar aku saja. Kamu bantu bongkar kardus dan masukin ke kantung plastik aja." Fabian menunjuk pos sebelah.
Dinar mengikuti saran Fabian. Ia segera bergabung dengan tim bongkar muat, diantaranya ada Kia di sana.
"Dek?" Kia menyapa adiknya dengan canggung.
Dinar tak menjawab sapaan Kia. Ia pura-pura sibuk dengan parcelnya. Kia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Selama puluhan tahun bersaudara, baru kali ini mereka berselisih cukup parah.
"Kamu nggak mau maafin Kakak, Dek?" Kia bertanya dengan wajah memelas, hampir menangis.
Dinar menghentikan kegiatannya memasukkan sembako dari Fabian. Sembako itu berupa, sarung, peci, roti Roma dan Sukro. Sedang santri wanita akan mendapat mukenah dan pasmina.
"Kenapa Kakak nggak jujur sama abi waktu itu? Kalau Kakak sebenarnya suka sama Mas Azzam. Kalau gini aku jadi ngerasa bersalah, Kak. Pasti setiap ngeliat aku sama Mas Azzam perasaan Kakak jadi ambyar. Makanya Kakak memutuskan kuliah yang jauh. Aku jadi merasa jahat sama Kakak." Dinar berkata amat pelan, sambil menundukkan wajahnya.
"Bukan kamu yang jahat, Dek. Kakak yang salah, seharusnya Kakak bisa move on, tapi ...."
Dinar tiba-tiba memeluk Kia. Membuat Kia kaget sekaligus lega. Kini kedua saudari itu berpelukan. "Aku tau, Kakak lebih sakit hati daripada aku. Maafin aku juga, ya, Kak?"
Kia membalas pelukan Dinar, juga mengelus punggungnya. Tiba-tiba Azzam masuk, mengacaukan scene mengharukan dua saudari itu.
"Lho, kok pada nangis? Apa ada acara bedah rumah?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.