"Ih, bikin gue malu aja lo! Tau gitu nggak gue ajak ke pengajian." Dinar mencubit lengan Adel seusai pengajian.
"Iya deh, maaf. Habis tadi gue kelepasan. Besok ajak gue lagi, ya?" Adel menggoyang-goyangkan tangan Dinar.
"Nggak ah! Lo malu-maluin." Dinar menghempaskan tangan Adel.
"Yah, ajak dong, Din. Kalau gue jadi alim lo 'kan jadi dapat pahala." Adel merajuk.
Dinar menghela nafas, gini banget cobaan buat mengajak Adel ke jalan yang benar, "Iya-iya. Tapi jangan malu-maluin gue lagi."
Adel membuat tanda oke. Tiba-tiba ummi masuk ke kamar Dinar sambil membawa kue cucur buatannya. "Din, di luar ada suami kamu. Temuin gih."
"Gimana, sih? Udah dibilang aku nginep malah dijemput." Dinar menggerutu.
"Lah, katanya mau tidur di sini bareng gue? Ya udah gue pulang aja deh." Adel bersiap mengambil tasnya. Dinar mencegahnya.
"Bentar, gue mau nego dulu."
***
"Kok Mas ke sini?" tanya Dinar jutek.
"Loh kenapa? Saya nggak boleh ke rumah mertua sendiri?" tanya Azzam polos.
"Kamu apa-apaan, sih? Suami datang bukannya disambut malah ditanya begitu." Ummi mencubit pinggang Dinar.
"Saya datang karena dipanggil Ummi. Iya kan, Mi?" Azzam meminta dukungan ibu mertuanya.
"Iya, Ummi yang manggil. Kebetulan tadi masak rendang kesukaan Azzam. Biar sekalian makan di sini. Kamu tadi belum masak 'kan? Lain kali jangan kayak gitu. Kalau mau pergi masakin suami dulu. Jangan main pergi aja." Ummi malah menasihati Dinar.
"Udah Dinar masakin orek tempe, Mi. Nggak akan basi sampai besok kok." Dinar menjawab cuek.
"Apa? Kamu masakin itu aja?" Ummi kaget dan mengelus dada. Dinar memang keterlaluan, setidaknya tambah sayur apa kek, biar nggak seret.
"Kebangetan kamu. Masakin sayur apa kek, kok cuma tempe doang? Jangan bilang tiap hari kamu masak itu aja?" curiga Ummi.
"Sama tahu juga, telor, sama emi." Dinar membela diri.
"Kan suami kamu sukanya ikan?" potong Haji Hamidah.
"Males bersihinnya, sisiknya suka terbang kemana-mana, mana amis." Dinar membantah.
Ummi terbengong-bengong mendengar jawaban putrinya. Seketika ia merasa kasihan kepada menantunya. "Ya Allah, maafin anak Ummi ya, Zam."
"Nggak papa, Ummi." Azzam tersenyum kecut.
***
"Puas liat aku dimarahin ummi?" Setelah ummi pergi, Dinar langsung memarahi Azzam.
"Maaf, Din. Saya nggak maksud."
"Terus nasib gue gimana? Gue pulang aja, ya?" Adel melerai pertengkaran pasangan suami istri itu.
"Eh, jangan-jangan." Dinar mencegah Adel.
"Adel mau nginep di sini?" tanya Azzam pada istrinya.
"Iya, nggak papa 'kan?"
"Nggak papa, sih." Azzam menggaruk rambutnya.
"Kamu tidur di kamar tamu, ya, Mas?"
Mata Azzam melotot, "Kenapa harus saya?"
"Aku udah lama nggak pillow talk bareng Adel."
"Sama curhat tentang ustadz Fahri." Imbuh Adel. Membuat Azzam mengeratkan rahangnya karena cemburu.
"Hush, diem!" Dinar mencubit pinggang Adel. Wajah Azzam semakin masam.
"Nggak papa kan, Mas?" Dinar meminta ijin Azzam.
"Iya, nggak papa. Biar nanti saya tidur di kamar tamu." Dengan terpaksa Azzam mengijinkan, karena merasa tak enak kepada Adel.
"Tunggu apa lagi?" Dinar mengusir Azzam yang masih saja bertahan di kamarnya.
***
"Lo lagi marahan sama ustadz Azzam?" Adel curiga melihat interaksi Azzam dan Dinar.
"Iya, gue kesel sama dia. Masa hari Minggu bukannya ngajak gue jalan, malah pergi," curhat Dinar.
"Ya laranglah."
"Gengsi gue. Nanti dikira posesif. Terus dia kegeeran."
"Yaelah, sama laki sendiri juga." Adel merebut botol lotion dari tangan Dinar. Kemudian ia mengoleskan di tangan dan kakinya.
"Sekarang gue mau jual mahal."
"Jual murah aja kagak laku," canda Adel.
"Gue nggak mau lagi ngebucin sama dia, biar dia yang ngebucin sama gue." Tekad Dinar.
"Ya udah, gue dukung cita-cita lo. Semoga hidup lo bahagia."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.