"Gimana kuliahnya?" tanya Azzam, ketika melihat istrinya baru pulang dalam keadaan lelah, letih, lesu dan tidak bersemangat.
"Lancar."
Azzam dengan pengertian mengambilkan air minum untuk Dinar. Tadi ia pulang lebih awal. Ia juga mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat dibereskan oleh Dinar. Menyetrika, menyapu, memasak sudah beres semua.
"Besok saya antar, ya?" tawar Azzam lagi. Ia penasaran dengan keadaan kampus istrinya.
"Nggak usah." Dinar buru-buru melarang. Melihat ekspresi Dinar yang panik membuat Azzam semakin curiga.
"Kenapa? Pingin mandiri?" sindir Azzam.
"Takut merepotkan kamu, Mas. KUA tempat kamu bekerja 'kan nggak searah sama kampus aku. Takutnya kamu capek di jalan." Dinar beralasan. Padahal yang sebenarnya, Dinar takut Azzam bertemu dengan Fabian.
"Pokoknya besok saya antar, saya mau tau kampus kamu." Semakin dilarang Azzam jadi semakin penasaran. Mengapa Dinar bersikeras menolak diantarkan olehnya.
"Terserah." Dinar hanya bisa pasrah. Terserah apa yang akan terjadi besok.
Azzam menahan tangan Dinar yang beranjak dari kursinya. "Mau ke mana?"
Dinar melpaskan tangan Azzam. "Mandi, mau ke pesantren."
"Untuk?"
Dinar mengerutkan dahi, merasa aneh dengan pertanyaan Azzam. Bukankah tempo hari ia sudah meminta ijin. "Ngaji lah."
"Sama saya juga bisa."
"Nggak enak, nggak kerasa vibes belajarnya." Dinar menolak belajar dengan suaminya sendiri.
"Suami kamu juga ustadz, kalau kamu lupa." Azzam memaksa, tampak enggan mengijinkan istrinya pergi.
"Udah janji sama ustadz Fahri."
Azzam merengut mendengar ucapan Dinar. "Kamu mau belajar sama dia?"
"Kata abi dia baru pulang dari Kairo, lulusan terbaik." Dinar tak sadar, kalau ucapannya barusan berhasil menyulut api cemburu di dada suaminya.
"Kenapa nggak sekalian belajar sama abi langsung?" tanya Azzam lagi.
Dinar jadi heran dengan sikap suaminya. Kemarin dia mendukung saja, kenapa sekarang seperti keberatan? "Sebenarnya masalahnya apa, sih, kalau aku mau belajar sama dia?"
Dinar menatap suaminya dengan pandangan penuh selidik. Membuat Azzam salah tingkah. Inginnya mengatakan, saya cemburu, nggak usah belajar sama dia. Tapi Azzam gengsi melakukannya.
Azzam sadar, siapa ustadz Fahri itu. Pria itu seangkatan dengannya, sebelum meneruskan belajar di Kairo. Wajahnya tampan dan berkharisma. Banyak santri wanita yang mengidolakan dirinya. Bukannya merasa rendah diri, hanya saja ia takut Dinar terpikat dengan ustadz Fahri.
Bukannya posesif juga, tapi masa cemburu saja tidak boleh?
"Mas, ini aku diijinkan berangkat atau tidak?" Dinar menepuk paha suaminya. Azzam tampak gelagapan dibuatnya.
"Ada yang kamu pikirkan?" tanya Dinar khawatir.
"Nggak ada, sih." Justru kata itu yang keluar dari mulut Azzam.
***
Keesokan harinya Dinar berangkat ke kampus dengan diantar suaminya. Kebetulan hari ini Azzam libur. Sepanjang jalan ia merasa risau, takut apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi.
"Saya antar sampai kelas." Azzam bersiap turun dari motornya setelah mengantar Dinar sampai ke depan gerbang kampus.
"Nggak usah, buat apa?" Dinar panik. Apa jadinya kalau Azzam tau dosennya adalah Fabian? Bisa-bisa mereka bertengkar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.