61

9.5K 994 2
                                    

Sudah tiga hari ini Azzam hidup bagaikan zombie, tak ada semangat untuk melakukan aktivitas. Walaupun ia masih tetap berangkat bekerja setiap hari.

Sore hari ia pulang ke rumah, sebelumnya ia membeli makan malam di jalan. Ia sedang malas memasak. Dengan malas-malasan ia memasukkan kunci ke lubang pintu rumahnya.

"Kok tidak terkunci?" Azzam keheranan, ia memandang waspada ke sekitarnya. Jangan-jangan maling? Azzam mengeluh dalam hati.

Ya Allah, Maling. Kalau mau bobol rumah orang itu, mbok ya lihat-lihat. Di sekitar sini masih banyak rumah orang kaya, masa nekat membobol rumah ini, di sini tak ada barang berharga. Paling juga televisi dan kulkas saja.

Azzam melihat televisi masih ada pada tempatnya. Alhamdulillah, masih rejeki. Sayang juga kalau sampai dicuri, masih baru itu.

Azzam mendengar suara ribut spatula yang beradu dengan penggorengan. Ia juga mencium bau harum masakan. Azzam segera berjalan menuju dapur, karena saking terburu-buru, kakinya sampai tersandung kaki meja. "Aduh."

Mendengar suara orang yang kesakitan, Dinar menghentikan kegiatannya mengaduk cap cay. Ia menoleh, tampak Azzam yang sedang memegangi kakinya.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Dinar khawatir.

"Kamu kapan pulang?" Azzam malah balik bertanya.

"Tadi pagi, jam sepuluh." Dinar menjawab sembari melanjutkan kegiatannya memasak.

Azzam memandang istrinya dengan takjub. "Kok nggak ngabarin saya?"

"Buat apa? Lagian 'kan kamu kerja. Nggak bakal bisa jemput aku." Dinar mengamati tangan Azzam yang masih memegang kantung kresek. "Kamu beli makanan, Mas?"

Azzam mengangguk polos. "Iya, udah beberapa hari ini. Soalnya lagi malas masak."

Dinar meletakkan spatulanya. "Yah, sia-sia aja aku masak."

"Salah sendiri nggak bilang, kalau mau pulang." Azzam bergumam seorang diri.

Mendengar ucapan Azzam, wajah Dinar berubah masam. "Kamu nggak senang aku pulang?"

"Senang kok. Senang banget malah." Azzam mencium dahi Dinar. Begitu saja sudah membuat Dinar salah tingkah. Kemarahannya menguap seketika.

"Terus, ini gimana masakan aku?" Dinar mengarahkan dagunya ke wajan.

"Tenang aja, nanti saya yang habiskan." Azzam mengangkat tas plastik di tangannya. "Aku ke rumah Bi Sarmi dulu, ya? Mau ngasih ini. Kamu jangan kemana-mana."

Azzam berbalik lagi. "Ingat. Jangan kemana-mana!" pesan Azzam, seolah takut istrinya kabur lagi ke Bali. Ia segera berjalan setengah berlari ke rumah bi Sarmi.

Azzam menghela nafas lega ketika sekembalinya dari rumah bi Sarmi, istrinya masih ada di rumah. Kini wanita itu sedang menata masakannya di meja.

"Makan, Mas." Dinar menyodorkan piring yang sudah dipenuhi nasi dan lauk.

Azzam menerimanya dengan terharu. "Makasih."

Azzam masih tidak percaya kalau tiba-tiba istrinya sudah ada di rumah. Ini seperti mimpi. Lebay kali kau, Zam.

Azzam merasa senang. Dilihat dari caranya bercakap-cakap, sepertinya Dinar sudah tak marah padanya. Terbukti wanita itu mau repot-repot masak untuknya.

"Ummi sama Kia masih di Bali?" tanya Azzam hati-hati. Dinar mengangguk sambil memakan nasinya.

"Kamu, pulang sendiri?" tanya Azzam kaget.

"Iya, tadi di bandara minta dijemput pak Sardi. Terus diantar pulang kesini." Dinar menjawab dengan santainya. Ia merasa kekhawatiran Azzam terlalu berlebihan. Cuma naik pesawat saja, mana mungkin bisa tersasar, memangnya naik metromini?

"Kenapa tiba-tiba pulang?" tanya Azzam dengan bodohnya.

Dinar menghentikan suapannya. "Kamu masih nanya, Mas?"

"Kamu, kangen saya, ya?"

***





Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang