58

9K 889 8
                                    

Tiba hari keberangkatan Dinar ke Bali, Azzam mengantarkan sampai ke bandara. Di sana telah siap Kia dan teman-temannya, juga tak ketinggalan bintang tamu kita ... ummi hehe.

"Ummi, titip istri saya, ya?" Azzam berpesan kepada ibu mertuanya.

"Jangan khawatir, Zam. Nanti ummi ikat dia pakai tali rafia supaya jangan hilang." Hajjah Hamidah malah mengajak Azzam bercanda.

"Ummi, emangnya aku kambing? Kamu juga, Mas. Masa aku dititipkan segala, kayak helm. Aku 'kan sudah dewasa. Nggak mungkin ilang lah." Dinar protes kepada ummi dan suaminya.

"Kayaknya suami kamu ini takut banget kehilangan kamu, Dinar. Maklum bule sana 'kan cakep-cakep, nanti kalau kamu kecantol gimana?"Hajjah Hamidah sengaja menggoda Azzam.

Azzam memijat tengkuknya, ummi memang paling pandai menebak isi pikirannya. Kia bisa melihat kalau Azzam sangat menyayangi Dinar, begitu pula sebaliknya. Dalam hati Kia merasa bersyukur. Walau agak sedikit perih, tapi ia harus ikhlas, Azzam bukan untuk dirinya.

"Ayo berangkat, pesawatnya sebentar lagi berangkat." Kia memanggil Dinar dan juga ummi.

"Mas, kamu di rumah baik-baik, ya? Jangan lupa makan, jangan lupa bersihin rumah juga. Jangan masukin cewek ...."

"Saya nggak pernah gitu, ya." Azzam memotong ucapan Dinar.

"Ya udah, aku pergi, ya?" Dinar mencium tangan Azzam, kemudian membalikan tubuhnya.

Tiba-tiba Azzam memanggilnya. "Dinar!"

Dinar menoleh, ia melihat Azzam berjalan menghampirinya, sedikit berlari. Tiba-tiba ia langsung memeluk Dinar. Padahal masih banyak orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Tentu saja Dinar jadi panik.

"Mas, kamu apa-ap ...."

"Cepat kembali, jangan lupa telpon saya begitu kamu sampai." Azzam berbisik di telinga Dinar.

Dinar hanya menanggapi ucapan Azzam dengan anggukan. Kemudian ia menepuk pelan punggung Azzam. "Mas, udahan main sinetronnya. Aku hampir ketinggalan pesawat."

Dengan berat hati Azzam melepaskan pelukannya. Dinar melambai ke arahnya, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berlari kecil mengejar rombongan lainnya.

***

Azzam pulang ke rumah seorang diri. Ketika memasuki ruang tamu ia merasa sangat sunyi. Beberapa hari ke depan ia tak akan bisa melihat istrinya di rumah ini.

Katakan saja dia lebay. Ia memang tak pernah ditinggal pergi jauh oleh istrinya itu, paling jauh hanya ke rumah mertuanya. Mereka juga tak pernah berpisah lama, terakhir saat ia ditahan di kantor polisi. Sudahlah, jangan bahas lagi masa lalu pahit itu.

Azzam membuka kulkas, tampak penuh dengan beragam masakan ibu mertuanya. Ada rendang, cumi asin, balado, dan banyak lagi. Mungkin semua itu tak akan habis ia makan seminggu. Ibu mertuanya memang sangat perhatian padanya. Azzam merasa sangat bersyukur.

Azzam menyiapkan makan untuk dirinya sendiri, nasi dengan lauk rendang. Ia cuma mengambil porsi sedikit, sebenarnya tak bernafsu makan. Tapi ini demi mematuhi pesan istrinya. Lagipula ia harus tetap hidup sampai istrinya datang.

Sebenarnya Azzam ada niatan untuk menyusul istrinya ke Bali. Lagipula mereka belum pernah berlibur berdua di pulau Dewata itu. Tapi sayang ia tak bisa mengambil cuti. Semua jatah cutinya telah habis digunakan saat ia mendekam di hotel prodeo kemarin.

Ponsel Azzam berdering. Azzam mengerutkan dahi, tak mungkin istrinya telah sampai di Bali. Baru beberapa menit lalu mereka berpisah.

Mata Azzam terbelalak melihat identitas pemanggil. Ia resah, ragu untuk mengangkatnya atau tidak. Apalagi istrinya sedang berada di luar rumah. Azzam jadi tidak bisa meminta ijin.

Telepon Azzam terus berdering, Azzam takut kalau ada hal penting yang ingin disampaikan sang pemanggil.

Akhirnya Azzam terpaksa mengangkat panggilan itu. "Assalamu'alaikum."

Terdengar jawaban dari seberang sana, suara wanita yang terdengar sangat halus dan merdu.

"Waalaikum salam, Ustadz. Apa saya menganggu?"

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang