Dinar terkejut ketika seorang wanita bercadar telah menunggunya di depan kampus. Siapa wanita ini? Apa selingkuhan Azzam? Dinar mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Assalamualaikum, Ukhti," sapa wanita itu, amat merdu dan lemah lembut tutur katanya. Seperti pernah dengar, tapi di mana, ya? batin Dinar.
"Waalaikum salam." Dinar menjawab dengan terheran-heran.
"Kaifa haluk, Ukhti?" tanya wanita itu lagi.
"Alhamdulillah." Dinar menjawab singkat, karena memang kemampuan berbahasa Arabnya sangat terbatas. Menyesal sekali ia tak minta belajar kepada Azzam. Secara suaminya itu lulusan Kairo, juga terbiasa khotbah menggunakan bahasa Arab saat sholat Jum'at. Cas cis cus pokoknya.
"Maaf, anda siapa, ya?" Dinar nekat bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Masa bodoh lawan bicaranya mengerti atau tidak. Ini negeri Indonesia, bukan Timur Tengah. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. NKRI harga mati pokoknya mah!
"Ana Adel."
"Hah? Ana siapa?" Dinar menajamkan pendengarannya.
"A-na, A-del." Wanita itu berusaha bicara lebih jelas.
"Adel? Hah, beneran ini Adel? Adel anak Tan Peng Liang? Juragan dimsum di Glodok?"
Adel mengangguk dengan anggun. "Na'am, Ukhti."
"Hua, Adel. Kemana aja lo? Setiap gue ajak ketemuan lo bilang lagi healing melulu. Gue jadi khawatir sama lo, ini anak kok healing kagak kelar-kelar, lo healing di Amazon apa bagaimana? Sekarang lo balik, dengan cashing yang berbeda. Pasti lo abis kena cuci otak. Ya Allah, untung lo bisa balik, Del. Kalau nggak lo bisa diimpor ke Suriah." Dinar memeluk Adel sambil tak henti mengomel.
"Astirkha' Ukhti." (Santuy, Fren.)
***
Dinar mengajak Adel makan ayam geprek di warung Amigos sambil mengobrol. "Del, Lo nggak papa makan begitu?"
Adel makan tanpa melepas cadarnya. "Astirkha' Ukhti." Adel memberikan jempolnya di depan muka Dinar.
"Del, bisa nggak sih lo biasa aja? Jangan pakai bahasa Arab melulu. Gue jadi ngerasa didoain, Del."
"La ... La ... La tahzan."
"Ngasal lo, Del. Udah, bicara bahasa biasa aja, gue capek translate. Roaming ini mah." Dinar merasa tidak nyaman dengan Adel versi sekarang. Ia lebih senang berteman dengan Adel versi dodol bin slebor.
"Gimana kabar lo?" Lama-lama Adel capek juga bicara bahasa Arab.
"Nah, gitu 'kan enak. Kalau bukan kita yang mencintai bahasa Indonesia, terus siapa lagi? Hehe ... btw kabar gue baik."
"Alhamdulillah." Adel berkata dengan sangat fasih, bernada pula.
"Del, gue punya good news buat lo?"
"Apa?" tanya Adel sembari menyeruput es tehnya.
"Ustadz Fahri sama Kak Kia nggak jadi nikah." Dinar berkata dengan nada riang gembira.
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Adel menjawab santai, di luar ekspektasi Dinar.
"Del, lo nggak senang?"
"Dinar, menikah itu 'kan hal baik? Bagaimana mungkin kita bisa gembira kalau hal baik itu gagal terlaksana?" Adel berkata dengan bijaknya, sampai Dinar melongo mendengarnya.
"Del, lo beneran abis kena cuci otak?" Dinar menempelkan tangannya di dahi Adel.
Adel segera menyingkirkan tangan Dinar. "Tangan lo bau sambel bawang."
"Kalau ustadz Fahri liat lo kayak gini, pasti dia kaget." Dinar bergumam seorang diri.
"Makanya, jangan sampai dia liat gue." Adel berbicara sambil menerawang.
"Maksud, lo?" Dinar tak mengerti maksud ucapan Adel.
Adel menghindar, sengaja tak mau menjawab. "Makan! Nanti nasinya keburu kering."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.