67

9.5K 983 14
                                    

Fabian datang berkunjung ke rumah guru spiritualnya, Haji Arifin. Sudah beberapa minggu ini ia tak datang ke sana. Sejak ia menjadi mualaf.

Fabian memarkir mobil mahalnya di pekarangan Haji Arifin. Kia yang sedang membaca majalah di teras, heran melihat mobil Fabian.

Bukan karena mahalnya, tapi ia heran ada orang yang seenaknya saja memarkir mobil di pekarangan orang.

Fabian keluar dari mobilnya dengan penuh gaya, ia sempat mengaca di spion sebentar. Semua itu tak luput dari pengamatan Kia. "Sok ganteng, seperti mau bertemu mertua saja." Kia mencibir dalam hati.

Dengan tenang Fabian berjalan menuju teras, tempat Kia berada. "Assalamualaikum." Fabian mengucapkan salam dengan sopan.

"Waalaikum salam." Kia menjawab dengan nada datar. "Ada perlu apa, ya?"

"Saya mau bertemu abi, beliau ada 'kan?" Fabian bicara sambil tersenyum ramah. Ia merasa wajah wanita di depannya ini mirip dengan mantan kekasihnya.

Astaghfirullah. Fabian segera beristighfar, tak baik diam-diam memikirkan istri orang.

Kia mengamati penampilan Fabian. Bule dari mana ini? Kenapa ia memanggil ayahnya dengan sebutan abi? Sok akrab sekali? Apa jangan-jangan ia anak Haji Arifin dengan wanita lain? Wanita bule lebih tepatnya.

"Maaf, ayah saya tidak ada di rumah." Kia menjawab dengan singkat.

"Ayah? Kamu ... putrinya Haji Arifin?" Fabian bertanya dengan heran. Ia ingat Dinar mengatakan punya dua saudara kandung. Mungkin ini salah satunya.

"Anda siapa, ya? Mengapa memanggil ayah saya seperti itu?" tanya Kia curiga.

"Oh, maaf. Saya bukan siapa-siapa. Cuma salah satu murid beliau." Fabian mengulurkan oleh-oleh yang dibawanya dari Sidney. "Kalau boleh, saya mau titip ini untuk beliau."

Kia menerima buah tangan dari Fabian. "Terima kasih, akan saya sampaikan kepada beliau."

Fabian masih berdiri dengan canggung, ia tak dipersilahkan masuk apa bagaimana? Bukannya tak sopan, Kia hanya berusaha mengingat ajaran Haji Arifin, bahwa sebaiknya wanita tak membawa masuk laki-laki yang bukan mahram ke rumah, apalagi hanya berdua.

"Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang." Fabian tersenyum sekilas, kemudian berjalan menuju mobilnya.

Hajjah Hamidah yang baru pulang dari pasar, kaget melihat kedatangan Fabian. "Lho, kamu datang, Bi?"

Kia kaget melihat Hajjah Hamidah bersikap amat ramah kepada Fabian. Memangnya siapa pria itu? Kia jadi penasaran.

"Masuk dulu, tadi sebelum ke pasar Ummi masak gulai kepala ikan. Kamu udah sarapan? Ayo, makan dulu bareng Ummi." Hajjah Hamidah malah menggandeng Fabian masuk ke dalam rumah. Fabian hanya bisa menurut, bagai kerbau dicocok hidungnya.

"Kia, kamu kenapa di luar aja? Ayo sini bantu Ummi siapin makanan." Hajjah Hamidah berteriak dari dalam rumah.

"Seperti kedatangan tamu agung saja." Kia mengeluh sambil masuk rumah.

***

"Kenalkan, ini anak Ummi yang kedua, namanya Kia, Zaskia Khairunnisa, kakaknya Dinar, baru pulang dari Kairo." Hajjah Hamidah memperkenalkan Kia kepada Fabian.

"Kia, ini namanya Mas Fabian, dia ... sudahlah nanti Ummi jelaskan, panjang ceritanya. Nanti nasi kita keburu dingin."

Sebenarnya Hajjah Hamidah ingin menjelaskan kepada Kia, bahwa Fabian adalah mantan kekasih Dinar, sekaligus orang yang membantu mengeluarkan Azzam dari bui.

Kia melirik sinis kepada Fabian, apalagi saat Hajjah Hamidah menyebutkan embel-embel 'mas'. Siapa juga yang mau manggil dia 'mas'? Kia mencibir dalam hati.

"Makan yang banyak, jangan sungkan." Hajjah Hamidah meletakkan banyak nasi dan juga kepala ikan dalam ukuran besar di piring Fabian.

"Cukup, Ummi." Fabian merasa sungkan, apalagi sejak tadi Kia hanya meliriknya sinis. Lain dengan adiknya yang periang, sepertinya Kia ini tipe orang yang serius, begitulah pemikiran Fabian.

"Udah, nggak papa. Lagian di rumah nggak ada yang makan. Abi-mu sedang ada ceramah di Serang."

Abi-mu? Entah mengapa Kia sangat kesal dengan sikap ummi yang terlalu ramah kepada sosok Fabian.

"Kia makan di kamar aja, Ummi." Kia membawa piringnya ke kamar. Membuat Fabian merasa semakin tidak enak. Ia mengikuti Kia dengan ekor matanya.

"Nggak usah diambil hati, anaknya memang begitu." Hajjah Hamidah berbicara sambil berbisik. Fabian hanya bisa tersenyum, ia mulai menyiapkan nasi ke mulutnya.

"Tapi dia cantik 'kan?"

Uhuk!

Fabian tersedak mendengar pertanyaan Hajjah Hamidah. Ia segera meraih gelas di depannya.

"Gimana? Cantik nggak?" kejar Hajjah Hamidah.

"Can-cantik, Ummi." Fabian menjawab dengan terbata.

"Nah, ketauan kamu dari tadi memperhatikan anak Ummi, ya? Kok tau kalau dia cantik?"

"Enggak, Ummi. Tadi lihat cuma sekilas. Bukannya semua wanita itu cantik? Kalau ganteng ya pasti pria."

Em, Fabian belum pernah main ke Thailand.

"Dia belum menikah loh." Hajjah Hamidah semakin senang menggoda Fabian.

"Lho, memang kenapa, Ummi?" tanya Fabian dengan polosnya.

Hajjah Hamidah menggeleng pelan.
"Nggak tau, masih pingin sekolah katanya."

"Bagus, Ummi. Kata abi, Allah senang dengan hambanya yang giat menuntut ilmu." Fabian berusaha menjawab secara diplomatis.

"Tapi, dia itu perempuan, Bi. Ummi khawatir kalau sampai sekarang dia belum menikah juga." Hajjah Hamidah malah curhat kepada Fabian.

"Kan, memang belum bertemu jodohnya, Ummi."

"Banyak yang lamar, ditolak semua. Coba kamu yang maju."

Uhuk!

Fabian tersedak ludahnya sendiri. Mana berani saya, Ummi? Perempuan berpendidikan seperti Kia itu, tentu memilih pria yang lebih dari dirinya untuk dijadikan sebagai suami. Apalagi Haji Arifin, tak kan mau sembarangan memungut menantu. Sebenarnya saya masih trauma ditolak. Fabian berkata dalam hati.

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang