77

9.2K 927 9
                                    

"Kia, kamu masih di sana?" tanya Fabian di seberang sana.

Dengan gelagapan Kia menjawab. "Iya, saya ada."

"Apa yang tadi ingin kamu sampaikan?" Fabian bertanya langsung pada intinya.

"Cuma mau minta maaf."

"Untuk?"

"Karena saya sudah membenci kamu tanpa alasan."

"Oh, tidak apa-apa. Saya nggak tersinggung. Saya cuma merasa tidak enak kalau kamu terganggu dengan kehadiran saya di rumah."

Kia sempat mendengar tawa laki-laki itu di seberang sana. Memang sepertinya dirinya sudah dimaafkan. Kia merasa lega.

"Terimakasih."

"Tidak perlu berterima kasih juga." Fabian berkata dengan ramah.

Kia menambahkan. "Terimakasih, karena kamu sudah menolong saya kemarin."

"Cuma masalah kecil, tidak perlu dibesar-besarkan." Fabian tertawa lagi. Jenis tawa yang Kia suka. Entah mengapa Kia senang mendengarnya. Kia segera tersadar dari lamunannya, bahwa yang ia pikirkan tadi sudah termasuk dosa, zina telinga.

"Baiklah, kalau begitu saya tutup telponnya."

"Oh, iya silahkan."

Fabian menutup panggilan dengan perasaan enggan. Sebenarnya ia ingin mengobrol lebih lama dengan Kia. Tapi mau membahas apa? Ia juga tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Lagipula ia pernah mendengar ceramah dari Haji Arifin, yang mengatakan bahwa menelpon atau berbalas pesan dengan lawan jenis tanpa keperluan yang mendesak bisa dikategorikan sebagai berkhalwat.

Kalau begini caranya, bagaimana caranya mendekati Kia? Fabian menggaruk pelipisnya kemudian ia tersenyum. Kenapa pikiran seperti itu ada pikirannya? Untuk apa ia mendekati Kia?

Mungkin ini efek karena sudah lama hidup sendiri. Ada semacam perasaan kesepian. Fabian menertawakan dirinya yang dengan berani mengharapkan bisa dekat dengan Kia. Kalau pria sekelas ustadz Fahri saja ditolak oleh Kia, apalagi dirinya.

Sudah beberapa lama Kia memandangi ponselnya. Percakapannya dengan Fabian sudah berlalu beberapa menit. Kia segera menghapus nomor ponsel Fabian, walau dengan perasaan enggan. Apa sebabnya ia sendiri tak tau.

***

Dinar membaca selebaran kredit mobil yang tadi ia temukan di tas kerja Azzam. "Mas, kamu mau ambil kredit mobil?"

"Oh, enggak. Tadi kebetulan di lampu merah ada yang ngasih. Ya sudah, saya terima. Mau ditolak juga nggak enak, dia 'kan kerja juga." Azzam menjawab sambil fokus pada laptopnya.

"Ngambil mobil juga nggak papa, Mas. Kan enak, kamu nggak kepanasan, nggak kehujanan," saran Dinar.

Sebenarnya kalau Dinar mau, abi-nya tentu tak akan keberatan memberikan barang sebiji mobil yang terparkir di garasi rumahnya. Masalahnya, suaminya ini gengsinya sangatlah tinggi. Pasti Azzam akan menolak mentah-mentah.

Lagipula, menurut Dinar naik motor dengan memakai gamis itu tidak nyaman. Belum lagi kalau bahan gamisnya dari shiffon, terkena angin sedikit bisa melambai ke sana kemari.

"Kamu nggak nyaman naik motor?" tanya Azzam.

Dinar segera mengelak. "Nggak gitu, Mas. Aku, sih, biasa aja." Bohong Dinar.

"Besok saja, ya. Saya sekarang belum bisa. Belum lagi memikirkan angsuran perbulan, belum mikirin buat garasi juga."

Dinar mengerti alasan suaminya. Ia juga mengerti keadaan Azzam. Sebagai istri ia tak mungkin memaksakan sesuatu di luar batas kemampuan suaminya.

"Doakan sebelum kamu hamil, kita sudah bisa punya mobil. Biar nanti kamu nggak kesusahan kalau mau periksa ke dokter."

"Naik taksi online juga bisa kok, Mas. Nggak usah terlalu dipikirkan." Dinar merasa bersalah karena telah membebani pikiran Azzam.

Azzam mengambil selebaran di tangan Dinar. "Sementara, ini kita sholawati dulu. Insya Allah kalau memang rejeki kita, pasti bisa jadi milik kita."

Dinar mengangguk mendengar perkataan suaminya. Walau kehidupannya bersama Azzam tidak bergelimang harta, tapi Dinar tetap bersyukur. Mereka juga jarang bertengkar karena masalah ekonomi. Ia ingin kehidupan pernikahannya bersama Azzam bisa terus seperti ini. Sakinah, mawadah, warahmah.

***

Mau tamat sampai sini, apa lanjut? 😁
Adel-Fahri belum jelas, Kia-Fabian juga, sih ....

Tadinya mau fokus mencari malam Lailatul Qadar, eh ternyata berhalangan dong. Semoga tahun depan masih bisa, Aamiin.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang