14

14.2K 1.4K 10
                                    

Dinar merasa lebih tenang setelah memutuskan hubungannya dengan Fabian. Hubungannya dengan ustadz Azzam menjadi semakin dekat. Sesekali mereka pergi bersama, berbelanja kebutuhan bulanan, atau mengunjungi rumah Abi dan ummi Dinar.

Kini ustadz Azzam sudah bekerja di kantor urusan agama sebagai seorang penghulu. Dinar merasa bersyukur suaminya sudah menjadi pegawai negeri sipil tetap.

Kini sang suami sedang ada tugas di pondok pesantren Haji Arifin. Ustadz Azzam memang masih menjadi pengurus pondok pesantren. Dinar yang kesepian di rumah memilih pergi ke rumah ummi-nya.

"Abi?" Dinar menghampiri Haji Arifin yang sedang sibuk membaca buku tafsir.

"Hm."

"Apa di pesantren nggak ada orang yang mau jadi pengurus?"

"Kenapa memangnya?" Haji Arifin heran mendengar pertanyaan sang puteri. Tumben sekali mengurusi masalah pesantren.

"Kasihan mas Azzam, tau. Pulang kerja ngajar di TPQ, belum lagi ngurus ponpes."

"Halah, bilang aja kamu nggak ada waktu mau berduaan sama suamimu. Iya 'kan?" goda Haji Arifin.

"Nggak gitu, Abi." Dinar buru-buru mengelak. Wajahnya sudah semerah tomat.

Yang sebenarnya adalah, Dinar cemburu melihat kedekatan suaminya dengan salah satu ustadzah di ponpes abi-nya. Ustadzah Nurul namanya. Beberapa kali wanita itu menghubungi Azzam lewat pesan singkat. Walaupun isinya hanya sekedar membahas masalah pesantren, tapi tetap saja menambah beban pikiran untuk Dinar.

"Halah, mukanya merah 'tuh." Haji Arifin semakin senang menggoda anak bungsunya itu.

"Mana ada! Ih, Abi." Dinar memegang kedua pipinya yang terasa panas.

"Iya, nanti Abi cari pengganti ustadz Azzam. Biar kamu ada waktu berdua dengan suami kamu. Seneng 'kan?" kata haji Arifin. Dinar senang mendengar janji sang ayah.

"Makasih, Abi."

Dinar memeluk abi-nya dengan erat, sampai haji Arifin terbatuk-batuk. Hubungan kedua orang itu memang lebih dekat akhir-akhir ini.

Sejak menikah dan pisah rumah, Dinar sering kangen kepada abi dan umm-inya. Tidak seperti saat mereka masih serumah. Setiap hari tak ada hari tanpa pertengkaran. Memang benar apa kata orang, jauh bau bunga, dekat bau kotoran.

Sebenarnya Dinar adalah anak yang manis dan penurut. Hanya saja menyandang status sebagai anak dai ternama menambah beban tersendiri untuknya. Ia dituntut untuk menjaga nama baik sang ayah, selalu dibandingkan dengan kedua kakaknya, disuruh belajar ini itu. Dinar bosan.

Ia sengaja menentang perintah sang ayah karena kecewa. Tak ada yang bisa mengerti perasaannya. Bisa dibilang kenakalannya waktu itu hanya karena ingin mencari perhatian.

Kebiasaan pergi ke club ia lakukan sejak mengenal Fabian. Pria itu adalah paman salah seorang teman bimbelnya. Kebetulan mereka berkenalan. Dinar merasa nyaman bergaul dengan pria yang umurnya terpaut sepuluh tahun di atasnya itu. Entah karena apa Dinar tak tau. Ia hanya merasa malas berhubungan dengan teman laki-laki sebayanya.

"Mana cucu Abi? Kok nggak jadi-jadi?" Haji Arifin menagih cucu pada Dinar, seperti menagih hasil prakarya.

"Mana Dinar tau. Itu 'kan rahasia Allah." Dinar panik. Jangan sampai abinya tau kalau ia belum pernah di-unboxing oleh suaminya. Bisa-bisa ia kenyang diceramahi semalaman.

"Jangan putus asa. Ikhtiar terus, semangat!" goda Haji Arifin.

"Abi!"

***

Hari ini ulang tahun ustadz Azzam. Dinar mengetahui ini saat ia tak sengaja menyapu rumah dan menemukan foto kopi KTP Azzam yang tercecer.

Dinar menghitung uang yang ada di dompetnya, hanya cukup untuk belanja. Tak mungkin ia menggunakan uang itu untuk membeli kado.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang