4

20.2K 1.7K 203
                                    

"Din, kamu nggak akan menuruti perintah orang tua kamu 'kan? Kamu nggak akan ninggalin aku 'kan?" Fabian meraih tangan Dinar. Buru-buru Dinar menghindar, ia menyembunyikan tangannya di balik tas.

Saat ini Fabian dan Dinar bertemu di kafe untuk membahas kelangsungan hubungan mereka.

"Maaf, Sayang. Aku ...." Dinar tak bisa melanjutkan kata-katanya. Di sisi lain ada orang tua yang harus ia patuhi, di sisi lain ada kekasih yang ia sayangi. Dinar bingung harus mengutamakan yang mana.

"Kalau kamu mau kita bisa kawin lari."

Mata Dinar melotot mendengar ide Fabian. Kawin lari? Ah, pasti melelahkan sekali. Selain itu pernikahan tanpa wali apa hukumnya sah? Terus terang Dinar takut kuwalat.

"Nggak mungkin, Sayang. Aku nggak bisa ngelakuin itu. Abi punya penyakit jantung, bahaya kalau sampai penyakitnya kambuh gara-gara aku." Dinar menolak mentah-mentah usul Fabian.

"Jadi kamu akan ngelepasin aku begitu saja?" Fabian merasa sangat terluka dengan keputusan Dinar yang memilih untuk mencampakkannya. Sebagai pria dewasa, ia merasa tidak ada harga dirinya.

"Yah, apa boleh buat. Aku nggak punya pilihan lain." Dinar berkata dengan penuh penyesalan. Tidak tega juga melihat wajah memelas Fabian. Tapi ia takut juga menjadi anak durhaka.

Fabian tertawa sinis, menyembunyikan perasaan terluka. "Nggak sayang? Jarang loh ada cowok paket komplit kayak aku? Kurang apa aku?"

Ya-ya ... Fabian memang nggak ada kurangnya, gue aja yang kentang, pikir Dinar.

"Kurangnya kamu nggak terlahir seiman sama aku." Dinar berkata pelan.

"So what? Aku bahkan udah bersedia mengikuti keyakinan kamu. Emang pada dasarnya abi kamu aja yang nggak suka sama aku."

Dinar hanya diam, mau menjelaskan juga susah. Yang jelas ini bukan salah abi-nya. Memang aturan agamanya seperti itu. Susah mau dijelaskan juga, Fabian mana paham, roaming ini mah! Dinar mengeluh dalam hati.

"Aku jadi penasaran, pemuda seperti apa yang dipilihkan untuk kamu. Wow banget apa?" Fabian berkata sinis.

"Eng ... Aku juga belum ketemu orangnya, Sayang." Dinda menggaruk pelipisnya.

Mereka hanya diam. Larut dengan pikiran masing-masing. Dinar berkali-kali melirik jam tangannya, sudah malam. Bisa gawat kalau abi-nya tau dia malam-malam keluyuran dengan Fabian. Padahal tadi cuma pamit beli stabillo di tukang foto kopi depan kompleks.

"Din, aku nggak masalah kok kalau kamu mau menikah sama dia. Asal kita nggak berpisah." Kata Fabian setelah lima menit berpikir.

"Hah? Gimana-gimana?" Dinar tak paham dengan maksud perkataan Fabian.

"Aku rela jadi simpanan kamu."

Dinar melongo mendengar solusi yang ditawarkan Fabian. Ini sih simpanan sukarela namanya.

"Dimana-mana yang biasanya jadi simpanan itu perempuan, Sayang." Dinar meringis mendengar ide ngaco Fabian.

"Whatever! Yang penting aku bisa sama-sama terus dengan kamu. Gimana? Kamu mau 'kan?" Fabian menatap Dinar penuh harap. Ia paham sifat Dinar yang tidak tegaan.

"Eng ... Aku takutnya leher kamu ditebas sama suami aku, Sayang." Dinar memijit tengkuknya.

"Nggak akan. Kita main cantik, oke? Aku jamin nggak bakal ketahuan." Fabian berusaha membujuk Dinar untuk menyetujui idenya.

"Belum nikah loh akunya, udah selingkuh di depan hehe ...." Dinar tersenyum kecut.

"Kalau waktunya sudah tepat, kamu bisa bercerai sama dia, aku yang bakal urus perceraian kamu, tenang aja." Fabian sudah merencanakan secara matang, ia sudah memperhitungkan berapa usia rata-rata pria tua seperti haji Arifin. Calon mantu tidak ada akhlaq. Malah mengharapkan camer segera mati.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang