24

12.4K 1.2K 11
                                    

Ketika Dinar ingin beranjak dari kursi, tiba-tiba Fabian datang menghampiri mereka berdua.

"Boleh gabung nggak?" Fabian mengambil posisi di depan Dinar.

"Oh, silahkan aja. Kebetulan aku udah mau balik." Dinar beranjak pergi, tapi ditahan oleh Fabian.

"Buru-buru sekali?" Fabian tersenyum miring, suka dengan ekspresi Dinar yang panik melihat kedatangannya.

"Dia kesel sama lo, Om. Elo sih pakai gusur pondok bokapnya? Punya dendam apa sih lo, Om?" Adel bertanya polos. Dinar melotot ke arahnya. Tapi Adel cuek saja.

"Saya nggak punya dendam apa-apa. Itu murni profesionalitas kerja aja."

Fabian membela diri. Sejak tadi ia menatap ke arah Dinar. Membuat Dinar risih dan ingin segera kabur dari tempat itu. Dinar bisa melihat raut wajah kangen dari pria itu. Rupanya pria itu belum bisa move on dari dirinya.

"Del, gue balik, ya?"

Dinar pamit untuk kedua kali, tapi sialnya Adel malah minta ijin ke kamar kecil, mana ia menitipkan tas dan ponselnya kepada Dinar. Terpaksa Dinar harus menunggu sampai Adel kembali dari kamar kecil.

"Nggak usah buru-buru, kita belum sempat ngobrol-ngobrol." Fabian tersenyum, ia senang karena Adel meninggalkan mereka pergi ke kamar kecil, kalau bisa yang lama. Pria itu masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan mantannya itu. Tak bisa dipungkiri, hingga saat ini ia masih mencintai Dinar, tapi sayang wanita itu sudah tak memiliki perasaan yang sama.

"Lagi ditunggu suami di rumah," kata Dinar.

"Padahal kita pernah sepakat untuk selingkuh, ya. Tapi lihat, sekarang kamu berperan seolah kamu istri yang sangat setia."

Terlihat Adel berjalan dari kejauhan. Sepertinya gadis itu sudah selesai menunaikan hajatnya. Dinar segera meninggalkan kafe itu. Ia tak mau membahas lagi masa lalu mereka. Fabian hanya menatapnya datar.

"Dia udah pergi?" tanya Adel.

Fabian hanya mengangkat bahu sambil memakan cheese cake yang tak sempat dimakan Dinar. Juga meminum latte bekas Dinar. Biarlah ia meminum bekas bibir mantan kekasihnya itu. Begitu saja sudah cukup mengobati kerinduannya. (Corona menangis melihat ini 😁)

Adel bergidik melihat kebucinan pria dewasa di depannya ini.

"Om, gue lihat lo makin keren aja?"

"Dari dulu juga udah keren." Fabian menjawab judes, membuat Adel memutar bola mata malas dan melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Udah punya cewek?"

"Kenapa nanya gitu?" Fabian mengangkat alisnya, kalau dia sudah punya cewek baru tak mungkin ia masih mengharapkan istri orang.

"Nanya aja, Om."

"Belum."

"Buruan nikah deh, Om. Entar keburu kadaluarsa." Adel dengan kurang ajarnya memberi saran.

"Ya, nanti."

"Kayaknya Om belum bisa move on dari si Dinar, ya?" Adel makin kurang ajar.

"Yah, begitulah."

"Elah, ketauan banget. Emang apa sih, Om bagusnya bocil kayak dia? Mana badan datar gitu."

"Kok kamu ngatain temen sendiri?"

"Gue mah orangnya jujur, Om. Biar kata temen sendiri kalau jelek juga gue katain."

Fabian tak berminat menanggapi ocehan bocil di depannya. Ia tak suka meladeni bocil selain Dinar.

"Sama gue aja gimana, Om?"

"Kamu beneran mau sama saya?" Fabian tersenyum miring.

"Yah, boleh dibicarakan, sih."

"Kalau kita nggak cocok gimana?"

"Kalau nggak cocok cerai juga bisa."

"Bocah edan!"

***

"Assalamualaikum."

Dinar sampai di rumah sore hari, tadi dia mampir ke minimarket untuk membeli kebutuhan bulanan. Tampak motor suaminya ada di halaman, artinya suaminya itu sudah pulang. Kini pria itu sedang duduk di meja makan dan sibuk dengan laptopnya.

"Waalaikumsalam." Azzam menjawab datar. Dinar mencium tangannya.

"Kok kamu udah di rumah, Mas?" Dinar merasa heran karena jarang-jarang suaminya ada di rumah jam segini, biasanya menjelang Maghrib baru pulang.

"Hm."

Dinar merasa aneh karena Azzam menjawab singkat. Nada bicaranya juga datar sekali. Azzam menutup laptopnya. Sebenarnya ia kesal dengan Dinar tapi ditahannya. Kebetulan saat diajak temannya makan siang di kafe, ia melihat istrinya itu sedang berbicara dengan mantannya.

Baiklah, sekarang ia akan mengetes kejujuran istrinya ini.

"Dari mana tadi?"

"Jalan sama Adel. Kan udah pamit." Dinar merasa aneh dengan pertanyaan suaminya. Kini pria itu hanya menatapnya diam.

"Oh, ya sudah."

***

Azzam tak bisa tidur semalaman. Ia memikirkan peristiwa tadi siang, saat ia melihat Fabian yang sedang berbicara dengan istrinya.

Azzam teramat kecewa, tega sekali Dinar berbohong padanya. Ia mengira bahwa gadis itu sudah benar-benar mencintainya. Mengingat bahwa ia sangat cemburu pada ustadzah Nurul. Tapi apa? Diam-diam ia masih menemui mantan kekasihnya di belakang Azzam.

Dinar merasa ada yang aneh dengan suaminya, sejak pulang tadi suaminya berubah jadi pendiam. Biasanya sebelum tidur mereka melakukan aktivitas lain, yah maklumlah suaminya yang kang nyosor itu tidak bisa jauh-jauh dari dirinya. Tapi sekarang pria itu malah tidur duluan. Mana membelakanginya lagi!

Dinar masih berusaha berpikir positif, mungkin suaminya itu sedang capek karena banyak pekerjaan.

Tiba-tiba Azzam berbalik dan menghadap Dinar. Tentu saja Dinar kaget, ia mengira Azzam sudah tidur dari tadi.

"Besok saya pergi ke Garut pagi-pagi sekali."

"Eh, iya, Mas. Biar aku siapin baju-bajunya." Dinar beranjak ke arah lemari.

"Sudah saya siapkan tadi siang."

"Oh, ya udah."

"Mungkin saya akan menginap selama tiga hari." Azzam berkata datar, melihat reaksi istrinya. Akankah Dinar merasa senang kalau ia tak ada. Jadi dia lebih bebas menemui mantan kekasihnya? Memikirkan kemungkinan itu dada Azzam tiba-tiba sesak.

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang