Dinar mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe. Tak tampak ada Fabian di sana. Tumben sekali, tak biasanya pria itu terlambat janjian.
Sebelum menemui Fabian, Dinar terlebih dahulu jalan dengan Adel. Supaya ia tidak merasa bersalah kepada Azzam. Kalau begitu 'kan jatuhnya ia tak berbohong, ia benar-benar jalan dengan Adel sesuai ijinnya kemarin.
Tiba-tiba seseorang mengulurkan bunga di hadapannya. Dinar mendongak.
"Maaf, telat. Aku beli bunga dulu." Fabian tersenyum tampan.
Dinar menerima bunga itu dan menciumnya sekilas. Mawar putih kesukaan Dinar memang selalu wangi. Fabian sudah hafal bunga kesukaan kekasihnya.
"Udah pesen makanan?" tanya Fabian.
"Aku nggak makan, aku sebentar aja di sini. Ada yang mau aku bicarakan."
"Yah, kok gitu? Kita 'kan udah seminggu nggak ketemu, Sayang?" tanya Fabian dengan wajah sedih, yang mau terlihat tampan.
Dinar merasa risih dipanggil sayang oleh Fabian. Padahal biasanya tak seperti itu.
"Setidaknya temenin aku makan dulu. Aku lapar, dari tadi pagi belum sempat sarapan," pinta Fabian memelas.
Dinar mengangguk saja. Ia kasihan juga melihat wajah memelas Fabian. Setelah memesan makanan mereka ngobrol, selagi menunggu pesanan datang.
"Gimana suami kamu?" tanya Fabian.
"Baik." Dinar menjawab singkat, padat dan jelas.
"Dia ngelarang kamu keluar?" Fabian kurang senang melihat Dinar yang sedari tadi berkali-kali memeriksa arloji di tangannya.
"Enggak, cuma dia pesan pulangnya jangan kesorean."
"Kamu nurut banget sama dia?" cibir Fabian.
"Bukan gitu, aku cuma nggak mau berantem sama dia. Nanti abi curiga."
Fabian menganggukkan kepalanya. Sebenarnya ia merasa aneh dengan sikap Dinar yang seolah menghindari kontak mata dengannya.
"Kalian udah ...."
"Uhuk!" Dinar tersedak mendengar pertanyaan Fabian. Bajunya jadi kotor terkena tumpahan minuman.
"Kamu kenapa gugup gitu?" tanya Fabian curiga.
"Aku nggak papa," bantah Dinar.
"Jangan bilang kalian udah ...."
Dinar diam saja menanggapi pertanyaan Fabian. Tak penting dijawab juga. Toh beberapa menit lagi mereka akan berpisah.
"Dinar?" Fabian masih menunggu jawaban Dinar. Pria itu menipiskan bibir sambil mengepalkan tangannya. Brengsek sekali kalau ternyata Dinar sudah dicicipi suaminya. Dirinya yang hampir satu tahun berpacaran saja tidak pernah diberi benefit, eh ternyata orang lain yang panen.
Dinar masih diam, membuat Fabian semakin gusar. Jadi beneran udah diunboxing? batin Fabian geram.
"Dia tau kalau kamu ke sini buat ketemu aku?" tanya Fabian.
"Nggak, aku bilang mau jalan sama Adel."
"Sini! Biar aku yang kasih tau." Fabian merebut ponsel Dinar. Tentu saja Dinar marah.
"Kamu apa-apaan, sih?" Dinar berusaha merebut kembali ponselnya tapi tidak berhasil.
"Aku mau beri tahu dia, kalau sekarang kita lagi jalan." Fabian berusaha mencari nomor kontak Azzam di ponsel Dinar.
"Nggak usah macem-macem. Kita hampir ketahuan waktu kamu nelpon tempo hari." Dinar marah hingga berdiri dari kursinya. Dengan cepat ia meraih ponselnya dari tangan Fabian.
"Baguslah."
"Gila! Lain kali jangan gitu lagi."
Dinar tak habis pikir dengan jalan pikiran Fabian. Pria itu begitu egois, tidak memikirkan keadaan orang tuanya jika sampai tau. Kemungkinan besar abi-nya akan terkena serangan jantung. Jangan-jangan memang itu yang diharapkan Fabian?
"Maksudnya aku nggak boleh menghubungi kamu lagi, gitu?" tanya Fabian.
"Mulai hari ini kita putus saja." Dinar berkata dengan nada datar. Fabian hanya bisa mengetatkan rahangnya.
"Putus katamu?" desisnya.
"Ya, ini yang terbaik bagi kita."
"Nggak bisa! Seenaknya saja kamu minta putus. Apa kamu mulai mencintai suami kamu?" Fabian merasa tidak terima dengan keputusan Dinar yang secara sepihak.
"Udahlah, emang kenyataannya kisah kita udah game over. Sad ending pula." Dinar memasukkan ponselnya ke tas, bersiap pergi. Fabian mencegahnya.
"Kamu nggak bisa ngelakuin itu sama aku!"
"Kita akhiri saja. Sebelum karir kamu tamat. Apa kata orang kalau kamu berhubungan dengan istri orang?"
"Aku nggak peduli!" Fabian berteriak. Tak peduli beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
"Pikirin juga nama baik keluarga kita." Dinar berusaha membujuk pria yang tampak marah itu.
"Ini alasan kamu aja 'kan? Bilang saja kamu mulai goyah karena laki-laki itu?" tuduh Fabian.
"Udah, ya. Jangan diperpanjang lagi. Aku yakin masih banyak perempuan lain yang bisa mencintai kamu lebih baik dari aku." Dinar berusaha membujuk Fabian. Ia menepuk sekali pundak laki-laki itu sebelum beranjak pergi.
"Din, jangan kayak gini." Fabian meraih tangan Dinar, menolak untuk melepaskan.
"Terimakasih atas semuanya. Semoga hidup kamu bahagia." Perlahan Dinar melepaskan tangannya dari genggaman Fabian. Ia berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi. Fabian berusaha mengejar Dinar. Ia tak peduli jika harus menjadi tontonan orang-orang.
"Din, Dinar!"
"Dinar!"
"Brengsek!"
"Lihat saja. Aku nggak bakal tinggal diam." Fabian mengepalkan tangannya, ia benar-benar tak terima diperlakukan seperti ini.
***
Oh, so sad ... Gue sedih banget nulis adegan ini. Sampai berlinang air mata loh ... Eh, tapi bohong 😁✌.
Kira-kira apa yang bakal dibikin sama si Fabian? Bentar gue mau diskusi dulu sama dia. Enaknya dibikin apa biar ceritanya jadi seru dan mencekam hehe ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.