49

9.4K 1K 10
                                    

"Namanya Vera. Dia anak didik saya, baru masuk beberapa bulan yang lalu. Sejak kedatangannya, saya merasa ada yang aneh dengannya. Dia sangat pendiam dan jarang bergaul dengan teman sebayanya. Kami hanya beberapa kali bertegur sapa." Azzam menghela nafas. Fabian masih menunggunya bicara.

"Sore itu, saya bersiap memulai pelajaran seperti biasa. Saat melewati gudang, saya mendengar suara tangisan. Saya berniat memeriksa, dan saya temukan dia di sana seorang diri." Fabian mencatat beberapa hal yang penting, ia tak menyela ucapan Azzam sedikitpun.

"Tangannya memegang sebuah pisau. Sepertinya ia hendak menyayat nadi. Saya kaget melihatnya. Saya mencoba membujuknya, untuk membuang pisau itu."

"Saya katakan bahwa bunuh diri itu perbuatan dosa, Allah melaknat orang yang berniat mengakhiri hidupnya."

"Dia bercerita, dia telah hamil tiga bulan. Ditanya siapa ayah bayinya, dia sendiri pun tak bisa menjawab. Katanya dia korban pemerkosaan saat sedang mabuk di klub malam. Orang tuanya mengirim ke pesantren untuk menyembunyikan aib."

Dinar merasa sangat gemas mendengar cerita Azzam. Ia kira manusia seperti itu hanya ada di sinetron.

"Ia sudah beberapa kali mencoba menggugurkan kandungannya, tapi tak pernah berhasil. Ia memohon saya untuk merahasiakan hal ini dari orang-orang. Saya menolak, saya bilang pak kiai harus tau. Supaya bisa segera dicarikan solusi."

"Vera menolak, ia bilang lebih baik mati daripada menanggung malu. Ia berusaha menusuk perut nya. Saya hanya mencoba menyelamatkan dia, itu saja."

"Soal CCTV itu saya tidak tau, sejak kapan benda itu terpasang di sana. Setau saya di pesantren tak ada CCTV sama sekali. Jarang sekali ada tindak kejahatan di sana. Cukup berpegang pada, Allah melihat semua perbuatan kita, maka para santri tak ada yang berani melanggar peraturan."

"Sampai video itu beredar, saya baru sadar. Kalau saya telah dijebak." Azzam mengakhiri ucapannya.

Fabian nampak memeriksa hasil rangkumannya. "Saya akan berusaha mendapatkan keadilan untuk kamu. Soal masa lalu kita, sebaiknya dikesampingkan dulu. Saya melakukan ini semua demi Dinar. Dia yang meminta tolong kepada saya." Fabian menoleh ke arah Dinar yang duduk di sampingnya.

"Terima kasih sudah mau membantu saya." Azzam menyalami Fabian dengan tangannya yang terborgol.

Jam besuk telah usai, Fabian dan Dinar bersiap meninggalkan tempat itu. "Terima kasih sudah bersedia menolong."

"Tak masalah, saya melakukannya demi kamu."

Ucapan Fabian membuat Dinar merasa tak enak. Setelah disakiti dan dicampakkan olehnya, pria itu masih mau menolongnya.

"Baiklah, saya akan mencoba bernegosiasi dengan keluarga korban. Sembari mencari celah. Percayalah, mantan kekasih kamu ini bisa diandalkan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan kasus ini. Walaupun setelah ini ibu-ibu akan melempari saya dengan telur busuk, karena sudah membela pelaku pencabulan." Fabian terkekeh.

Dinar hanya bisa memandangi punggung pria itu. Harapannya semakin besar, ia yakin Azzam akan segera dibebaskan.

***

Kedatangan Fabian ke rumah keluarga korban tak diterima dengan baik, ia beberapa kali diusir oleh satpam. Pada hari ke tiga pria itu datang lagi, kali ini yang menemuinya adalah pengacara keluarga korban.

"Tidak ada negoisasi lagi. Kasus ini telah kami serahkan ke meja hijau. Pelaku telah menolak mediasi yang kami tawarkan." Pengacara keluarga korban yang ternyata adik kelas Fabian berbicara penuh wibawa.

"Well, sebenarnya saya menemukan banyak kejanggalan di kasus ini." Fabian berkata dengan tenang.

Pengacara keluarga korban, yang menyadari bahwa Fabian adalah mantan kakak kelasnya, menjadi panik. "Kejanggalan seperti apa maksud Anda?"

"Satu, dalam tuntutan Anda ada poin, pengancaman. Dalam hal ini pelaku dituduh mengancam korban dengan sebilah pisau. Benar?" Fabian memastikan lagi apa yang dibacanya.

"Iya, benar." Pengacara itu mengangguk membenarkan.

"Secara logika, mana ada korban pengancaman yang memegang sendiri pisaunya. Kedua, korban mengatakan peristiwa ini sudah berlangsung selama beberapa waktu, hingga menghasilkan anak di kandungannya. Saya ada data, tanggal berapa korban masuk ke pesantren itu, dan berapa bulan kandungan korban. Saya merasa ada yang janggal di sini. Dan lagi, soal CCTV itu ...."

"Maaf, sebaiknya masalah ini kita perdebatkan di pengadilan saja." Pengacara itu mengelak.

"Matthew, kamu adik kelas saya. Saya mengerti betapa bangganya keluarga kamu saat pertama kali kamu magang di kantor saya dulu."

Matthew hanya diam, ia memang pernah magang di kantor Fabian selama beberapa bulan.

"Saya yakin kamu tau, kasus ini banyak kejanggalan. Jangan diteruskan. Mundurlah dari kasus ini sebelum saya permalukan."

Fabian melenggang pergi dari kediaman keluarga korban. Ia yakin Matthew akan menuruti sarannya. Fabian semakin tak sabar untuk mengahadapi persidangan pertama yang akan dilaksanakan minggu depan.

***






Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang