"Siang, Om."
Fabian benar-benar datang ke rumah Dinar. Ia membawa buah tangan berupa jeruk Bali yang sebesar kepala bayi. Tampak haji Arifin yang sedang membaca buku tafsir di teras.
Haji Arifin membetulkan kacamatanya. Ia heran, tumben ada manusia yang memanggilnya om.
"Kamu siapa?"
"Kenalin, saya pacarnya Dinar." Fabian mengulurkan tangan, bukannya disambut tapi malah ditinggal masuk rumah.
"Astaghfirullah! Kamu duduk dulu."
Haji Arifin berteriak memanggil anaknya. Anak ini, sudah dibilang jangan bawa pacar ke rumah, malah bandel, pikir Haji Arifin sambil bersungut-sungut.
"Dinar!"
Dinar yang sedang membantu ummi membuat bola-bola ubi kopong di dapur, berlari tergopoh-gopoh. "Iya, Bi!"
"Siapa yang nyuruh dia ke sini?" Haji Arifin menunjuk ke arah luar. Dinar ikut mengintip ke luar, tampak Fabian yang masih berdiri dalam keadaan bingung di teras.
"Bukan Dinar, Bi. Suer!"
Haji Arifin menelisik wajah putrinya, memang tampak jujur. Haji Arifin keluar diikuti Dinar di belakangnya.
Fabian sedikit mencuri dengar pembicaraan ayah dan anak itu. "Saya ke sini atas inisiatif saya sendiri, Om. Ngomong-ngomong saya nggak disuruh masuk gitu?"
***
"Langsung saja pada intinya, apa yang mau kamu bicarakan?"
Haji Arifin enggan membuang waktu. Sedang Dinar yang katanya pamit ke dapur untuk membuat minum malah mengintip, saat Fabian memergokinya ia malah kabur.
Fabian tersenyum melihat tingkah pacar kecilnya itu. Gemesin banget, sih. Gimana nggak bikin cinta coba, batin Fabian.
"Ada perlu apa?" tanya Haji Arifin tak sabar.
"Sabar, Om. Minumannya saja belum datang, saya haus nih."
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Fabian mengatakan maksudnya. "Kedatangan saya kemari, saya mau melamar anak Om." Fabian berkata dengan mantap.
"Astaghfirullah." Haji Arifin kaget. "Dinar! Ambilkan inhaler Abi, cepat!"
Dinar datang dengan tergopoh-gopoh memberikan inhaler ayahnya. Haji Arifin segera menghirupnya. Fabian ikut khawatir kalau ada apa-apa dengan calon mertuanya.
"Sudah tau kriteria calon menantu saya?" Haji Arifin berkata dengan tegas.
"Ekhem, tenang aja, Om. Saya punya kerjaan, rumah juga udah ada, mobil masih baru, saldo ATM ...."
"Kerja apa kamu?" potong Haji Arifin.
"Oh, saya lawyer, Om." Fabian berkata bangga.
"Oh, tukang ngomong."
"Lawyer, Om. Pengacara." Fabian meralat ucapan calon mertuanya yang terkesan merendahkan profesinya, apa profesi itu kurang mentereng?
"Iya, saya tau. Tukang ngomong 'kan?" kata Haji Arifin tak mau kalah. Fabian hanya bisa menggaruk kepalanya. Jangan lawan, ingat dia orang tua, Fabian menyabarkan dirinya.
"Tarif saya udah lumayan loh, Om. Ada dua digit per kasus." Fabian memamerkan penghasilannya. Biasanya orang tua sekarang pada matre, asal sang calon mantu tajir pasti restu cair, begitulah pemikiran Fabian.
"Tidak penting! Saya mau tanya, apa agama kamu?" Haji Arifin nampak tak terpengaruh dengan segala macam kelebihan Fabian.
"Oh, soal agama nggak perlu khawatir. Saya orangnya fleksibel 'kok. Kalau Dinar nggak mau pindah ke agama saya, biar saya yang pindah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.