"Dasar pria udik nggak tau diri! Enak aja mau nikahin gue." Dinar menggerutu seusai menemui Azzam di TPQ. Ia melepas jilbabnya dengan kesal dan melemparkannya ke segala arah.
"Kenapa, Din? Baru pulang sekolah kok marah-marah? Kesambet jin di sekolah?" Kia bertanya keheranan. Ia baru saja memasak di dapur dan terkejut melihat sang adik baru pulang dalam keadaan marah.
"Iya, jin Tomang!" Dinar menjawab kesal.
"Astaghfirullah, sana cuci kaki dulu."
Bukanya cuci kaki agar jin yang menempel padanya bisa terlepas, eh Dinar malah duduk di sofa. Menunggui sang kakak yang sedang menyetrika baju sambil menonton televisi.
"Kak! Gue nggak mau nikah. Gantiin kenapa?" Dinar mengeluh kepada Kia. Ia merasa tak adil.
"Mana bisa gitu, Din?" Dalam hati Kia sangat berharap ia bisa melakukan itu, menggantikan Dinar untuk menjadi istri Azzam. Tapi apalah daya ....
"Di novel-novel ada 'tuh yang kayak gitu." Dinar menjawab polos, membuat Kia tertawa.
Di saat ia sedang rajin-rajinnya membaca ilmu tafsir, si adik malah sibuk membaca novel.
"Ada-ada aja kamu. Sana bersih-bersih dulu. Udah shalat belum?" Kia mengacak-acak rambut adiknya.
"Belum hehe ...."
"Astaghfirullah." Kia hanya mengelus dada melihat kelakuan adiknya.
Bukannya menuruti perintah sang kakak untuk sholat, Dinar justru duduk di meja makan sambil mencomot paha ayam yang baru di goreng kakaknya.
"Kak, ustadz Azzam gimana orangnya?" tanya Dinar sambil mencubit-cubit paha ayam.
"Baik." Kia hanya menjawab seadanya, ia malas jika harus membahas tentang ustadz Azzam lebih jauh. Mengorek luka lama itu namanya.
"Nggak ada jawaban yang lebih detail?" Dinar mendengus kecewa. Ia yakin, Kia tau banyak tentang ustadz Azzam. Mereka berdua 'kan sama-sama menjadi pengurus pondok pesantren abi-nya.
Kia menuntaskan pekerjaan menyetrika baju, ia segera mencabut stop kontak. Hari ini setrikaannya tidak terlalu banyak, hanya beberapa gamis dan pasmina.
"Yang kamu lihat sendiri, gimana orangnya?" Kia malah balik bertanya.
"Em, cakep, sih ...." Dinar menjawab jujur dengan mulut penuh ayam goreng. Biar benci harus tetap obyektif. Tapi apa ustadz Azzam patut dibenci? Dia juga 'kan korban perjodohan absurd ini.
"Ciye .... udah mulai naksir." Kia menyenggol bahu adiknya.
"Amit-amit!"
"Nurut aja apa kata abi, Din. Insyaallah itu yang terbaik untuk kamu." Kia meninggalkan Dinar untuk pergi ke kamarnya. Hatinya sedih jika terus membahas tentang ustadz Azzam.
***
"Jadi, Om Fabian nggak mau lo putusin?" Adel bertanya keheranan setelah Dinar curhat padanya.
Saat ini mereka sedang nongkrong di salah satu club langganan mereka. Padahal tadi Dinar pamit ke ummi-nya untuk pergi mengerjakan tugas sekolah. Untungnya ummi-nya percaya begitu saja padanya. Sedang abi-nya sedang sibuk ceramah ke luar daerah.
"Iya, malah dia nyamperin ke rumah gue lagi." Dinar meneguk cola di depannya.
"Hah? Buat apaan?" Adel tersedak karena mendengar cerita Dinar. Pasti ada kejadian yang seru di rumah Dinar saat itu.
"Buat ngelamar gue lah."
"Hah? Gila!" Adel menepuk keras bahu Dinar, membuat pemiliknya mendengus kesal.
"Mana bokap gue marah-marah." Dinar teringat setelah itu ia diceramahi habis-habisan oleh Haji Arifin, semua hadis dikeluarkan untuk menyadarkan Dinar.
"Terus, diterima nggak?"
"Ya nggak lah! Lo tau sendiri standar bokap gue dalam memilih calon menantu itu tinggi banget. Nih, ya, minimal lulusan Kairo, hafal Al-Qur'an, hafal Hadist, bisa bahasa Arab, ahli puasa, ahli sodakoh, kurban tiap tahun, udah pernah ke tanah suci, pernah bangun masjid, masih perjaka ...."
"Elah, berlebihan lo!" Adel mencibir.
"Ck, dibilangin nggak percaya!"
"Lo, sih! Pacaran sama gadun. Kan jadi rempong. Btw katanya dia mau jadi muallaf juga, ya?"
"Iya. Tau dari mana lo?" tanya Dinar curiga.
"Kemarin dia minta tolong gue buat nyari ustadz gitu." Adel teringat saat Fabian menghubunginya untuk membantunya mencarikan pemuka agama.
Bahu Dinar merosot. Ia jadi dilema lagi. Perasaan bersalah muncul kembali. Apalagi mengingat sosok Fabian yang sampai berniat pindah agama demi dirinya.
"Nah, itulah. Gue jadi bingung. Mana dia ngajakin gue selingkuh. Kata dia nggak masalah kalau dia gue jadikan simpanan." Dinar menerawang ke arah muda-mudi yang sedang asyik joget pargoy di seberang sana.
"Gila! Ngaco amat 'tuh cowok. Kayak nggak ada cewek lain aja. Kayaknya dia udah kadung cinta mati sama lo." Adel malah meledek Dinar. Iri juga dengan nasib Dinar, bisa-bisanya ia mendapat tangkapan bagus begitu. Yah, siapa sih yang nggak bakalan jatuh cinta sama cowok seperti Fabian itu. Matang dari segi usia dan finansial, mana good looking , Atletis pula. Paket lengkap ini mah ...
"Nah, kan. Bikin gue jadi makin merasa bersalah aja." Dinar mengingat wajah Fabian yang memelas.
"Udah, iyain aja. Seperti gue bilang tempo hari, kalau bisa dua kenapa harus satu." Adel menyarankan. Saran sesat.
"Wah, nggak bener. Lo mau ngajarin gue yang aneh-aneh? Inget! Bokap gue dai kondang, nih. Bisa-bisa viral kalau sampai ketahuan." Dinar menentang keras usul gila Adel. Biar jelek begini ia masih mewarisi darah abi-nya, walau hanya beberapa mililiter saja.
"Ya pinter-pinternya lo aja. Main cantik, oke?" Adel mengedipkan sebelah mata.
"Nggak ah, jelek-jelek gini gue takut dosa." Dinar lagi-lagi menolak saran Adel. Sebandel-bandelnya dia, tak akan mau merusak nama baik ayahnya sampai separah itu.
"Jadi lo berencana jadi istri solehah, yang alim lemah lembut, rajin memasak dan rajin menjahit?" cibir Adel.
"Yah, mungkin udah takdir gue," Dinar berkata pasrah.
"Ah, nggak asik nih! Anti klimaks namanya kalau gini mah." Adel kecewa, penonton kecewa.
"Ya lo aja yang jadi pemeran utamanya!" sewot Dinar.
Ponsel Dinar berdering, dari Fabian. Pasti pria itu mengajaknya untuk bertemu. Dinar resah, entah mengapa akhir-akhir ini ia jadi segan bertemu dengannya. Ingin menghindar tapi tak bisa.
Ponsel Dinar terus berdering, dengan terpaksa ia mengangkat panggilan Fabian.
"Iya, Sayang?"
"Kamu dimana? Aku mau kesana."
***
Heh, Adel! Parah lo ngajarin anak orang nggak bener 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.