82

10.3K 936 0
                                    

Akad nikah Kia-Fabian dan Adel-Fahri akan diselenggarakan dalam waktu yang berdekatan. Dinar pusing memilih baju untuk menghadiri acara penting itu.

"Loh, ini kenapa lemarinya di acak-acak seperti ini?" Azzam yang baru saja keramas, heran melihat kamar sudah dalam keadaan porak poranda.

"Aku lagi milih baju, Mas. Untuk menghadiri nikahan Adel dan kak Kia. Kayaknya kita perlu beli baju deh."

Azzam menggaruk pelipisnya, di depannya menggunung baju Dinar. Bahkan ia hanya kebagian satu space kecil di lemari. Sekarang mau beli lagi? Wanita memang begitu. Baju sudah banyak, masih saja bilang tak punya baju.

Azzam memungut gamis berwarna pink muda di depannya. "Ini 'kan masih bagus?"

Dinar memeriksa gamis itu, menempelkan di tubuhnya. "Udah ketinggalan jaman, Mas kalau model kaftan gini. Sekarang lagi musim model gamis Lucinta."

"Lalu, gamis sebanyak ini mau diapakan?"

"Mau aku simpan, mungkin saja taun depan bisa tren lagi." Dinar memasukkan lagi bajunya ke lemari.

"Dinar, boleh saya kasih tau. Semua baju kamu yang tidak digunakan ini, nantinya akan dihisab. Ingat, mubasir itu temannya setan."

"Jadi, nggak dibeliin nih?" Dinar bertanya dengan cemberut.

"Bukan saya pelit. Tapi, baju kamu ini sudah terlalu banyak. Lihat, lemari kita saja hampir tidak muat."

"Kan bisa beli lemari lagi?"

Azzam menghela nafas, menyuruh Dinar duduk di sampingnya. "Begini saja. Baju kamu yang tidak terpakai, kamu kumpulkan. Nanti kita hibahkan saja ke santriwati yang membutuhkan. Besok-besok dan seterusnya harus seperti itu, setiap kamu akan membeli baju baru, kamu harus mengeluarkan satu baju yang lama untuk kamu hibahkan kepada orang lain."

"Baik, Mas."

Azzam mengelus pelan kepala Dinar, kemudian ia keluar kamar untuk mengerjakan tugas kantor.

Dinar kebingungan memilih baju mana yang akan ia donasikan, semua itu baju kesayangannya. Dinar enggan berpisah dengan salah satu dari mereka.

Satu jam kemudian Azzam menghampirinya lagi. "Udah, sortir bajunya?"

Dinar mengangguk, ia menunjukkan satu stel gamis warna abu-abu di tangannya. "Ini, Mas."

Azzam mengerutkan dahi. "Ini aja?"

Dinar mengangguk. "Cuma itu yang aku nggak suka."

Azzam menggeleng pelan, kalau sudah begini Dinar tau, sebentar lagi ia akan diceramahi oleh suaminya.

"Dinar, hendaknya kalau memberi seseorang itu, dengan barang yang kita sukai. Bukan barang yang tidak kita sukai, apalagi sudah rusak begini." Azzam menunjukan gamis Dinar yang berlubang di bagian ketiak.

Dinar menggaruk kepalanya sambil cengengesan. "Itu juga masih bagus, kok, Mas. Cuma kesangkut sedikit."

"Jahit dulu, ya. Baru nanti diberikan ke orang lain." Azzam mengembalikan gamis Dinar.

Kemudian Azzam meraih gamis Dinar yang berwarna biru muda. "Kapan terakhir kali kamu pakai yang ini?"

"Setahun yang lalu, Mas." Dinar ingat, gamis itu ia beli ketika sedang berjalan-jalan dengan Adel di mall.

"Kita hibahkan, ya?" Azzam meletakkan gamis itu ke kardus bekas.

Dinar hanya bisa mengangguk pasrah ketika satu per satu 'anak kesayangannya' masuk kardus oleh tangan suaminya.

Setelah satu jam memilih, akhirnya Azzam mendapat dua kardus penuh pakaian yang siap dihibahkan.

"Kamu ikhlas 'kan?" Azzam memastikan lagi.

"Insya Allah aku ikhlas, Mas." Dinar berkata dengan lemas.

"Alhamdulillah, semoga amal kamu diterima oleh Allah. Lain kali harus lebih bijak berbelanja, ya?" Azzam mengelus kepala istrinya. Saat ia hendak keluar kamar, Dinar mencegahnya.

"Mas, tapi kita tetep beli baju baru 'kan?"

Azzam menghela nafas berat. "Baiklah, satu setel saja. Oke?"

***
Kesian Azzam .... 😁

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang