53

10K 937 14
                                    

Dinar heran melihat Adel sudah ada di depan kampusnya sore ini. Akhir-akhir ini Adel memang sering menjemput Dinar, apalagi kalau bukan untuk mengajak Dinar mengikuti kajian ustadz Fahri.

"Rajin amat lo?" tanya Dinar malas. Sebenarnya ia ingin pulang dulu ke rumah. Ingin membersihkan rumah sedikit dan memasak untuk Azzam.

"Seharusnya lo senang. Sahabat lo ini sedang giat-giatnya mencari ilmu." Adel cengengesan sambil menggandeng, lebih tepatnya menyeret tangan Dinar.

"Tapi gue laper, Del. Gimana kalau kita makan ayam geprek di sana." Dinar menunjuk warung ayam geprek di ujung jalan.

"Nanti ajalah. Nanti ustadz Fahri nungguin kita." Adel menolak mentah-mentah ajakan Dinar.

"GR lo, Del! Jangan halu kenapa? Lagian kajiannya baru mulai dua jam lagi. Perjalanan kita ke pesantren paling cuma 15 menit. Emang lo mau ngepel masjid? Cek sound?" Dinar tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Baru tak melihat Fahri beberapa hari saja sudah rindu.

"Emang mata lo katarak kalau nggak liat dia beberapa hari aja?" tanya Dinar lagi.

"Bukan hanya katarak, tapi bibir pecah-pecah, sakit tenggorokan dan susah buang air besar." Adel malah menyebutkan gejala orang sakit panas dalam, seperti iklan di televisi.

"Ayuk makan dulu, gue traktir," bujuk Dinar.

"Oke." Dengan cepat Adel berubah pikiran. "Kata ustadz Fahri, nggak baik nolak rejeki hehe ...."

Dinar hanya menggeleng pelan dengan tingkah sahabatnya, suka sekali barang gratis.

***

"Din, mantan lo kalau pakai peci ganteng banget." Adel mulai membahas soal Fabian lagi.

"Semua kalau pakai peci juga ganteng, termasuk abi gue." Dinar menanggapi santai ucapan Adel.

"Tapi ini beda, Din. Kayak ada manis-manisnya gitu." Adel menyenggol lengan Dinar, hingga ayam di tangan Dinar nyaris jatuh.

"Lo kira es cendol? Kalau lo mau, gebet aja." Dinar malah mengoper mantannya pada Adel.

"Ogah ah gue, selalu dapat barang preloved dari lo. Biar kata dia ganteng, tapi hati gue udah kadung dikapling sama ustadz Fahri," ujar Adel sambil mengaduk-aduk nasinya.

"Kata lo, kalau bisa dua, kenapa harus satu?" Dinar mengulang kata mutiara Adel.

"Tapi gue nggak bakal bisa adil, Din. Pasti deh gue condongnya ke ustadz Fahri. Kan kasian Fabiannya." Adel berkata sok cantik.

Dinar mencibir. "Kayak mereka berdua mau aja sama lo."

"Iya-iya! Gue sadar gue siapa. Gue cuma cewek kentang. Biarpun kentang 'kan bisa dibuat kentang Mustofa, di bikin perkedel juga enak." Adel malah bicara tak nyambung.

"Makan, Del. Nanti aja bahas cowoknya. Kelamaan lo aduk, entar nasi lo pusing." Dinar menyuruh Adel makan, daripada melantur tak jelas.

Adel mengamati ayam di piring Dinar. "Ayam lo gede, kok ayam gue kecil, mungil dan tak berdaya?" Adel menunjukkan ayam miliknya yang memang ukurannya lebih kecil, gosong pula.

"Ya Allah, gitu aja iri. Itu tergantung amal ibadah masing-masing, tau. Mau tuker?" Dinar meletakkan ayam miliknya di piring Adel.

"Enggak, gue heran aja. Sayap sepasang kok besarnya beda. Ini ayamnya kidal apa bagaimana?" Adel malah berpikir tak penting.

"Minum, Del. Sepertinya lo dehidrasi." Dinar menyodorkan sebotol teh Sosor untuk Adel. Apapun kelakuannya, minumnya teh botol Sosor.

"Din, kenapa warung ini namanya Amigos?" tanya Adel sambil membaca spanduk.

"Mungkin karena menyediakan makanan Spanyol." Dinar menjawab asal. Amigos dalam bahas Spanyol artinya teman.

"Ngaco lo! Emang ayam geprek makanan dari Spanyol?" Adel tak percaya begitu saja jawaban Dinar.

"Makan aja, Del. Jangan cerewet. Gue geprek juga pala lo." Dinar mulai kesal karena Adel terus saja bicara, udah ditraktir, bawel lagi.

Alasan yang sebenarnya owner warung ini memberi nama 'Amigos' adalah karena letak warung ini agak minggir got sedikit, disingkat Amigos hehe ....

"Abisin, Del. Entar ayam lo mati." Dinar melihat masih ada nasi di piring Adel.

"Gue nggak punya ayam, di rumah cuma ada bokap gue aja." Adel berkata cuek.

"Ya Allah, Del. Ngebet banget lo jadi anak yatim. Nyebut lo, Del. Bagus lo begitu? Anak durhaka emang." Dinar memarahi Adel yang bercanda keterlaluan.

"Ayuk, Din. Kita berangkat sekarang aja ngajinya. Nasi ini biar gue donasikan sama si Ipus." Adel memberikan nasinya kepada kucing yang kebetulan lewat. "Melas banget mukanya, minta disantunin kayaknya hehe ...."

Setelah membayar makanan, Adel dan Dinar pergi berboncengan menggunakan motor Adel.

"Din, gue mau cerita."

"Ntar ajalah, Del. Di rumah. Lo tulis di kertas, lo kirim ke penerbit, jual buku kaya lo." Dinar menjawab absurd.

"Pokoknya gue mau cerita, terserah lo mau denger apa nggak." Adel ngotot bercerita.

"Kapan hari, pas gue pulang kajian ...." Adel sengaja memotong ucapannya, menunggu reaksi Dinar.

"Buruan lanjut, Del. Gue nungguin, nih." Dinar mulai penasaran.

"Kan gue naik ojol. Drivernya 'tuh diam aja."

"Dia jurik?" potong Dinar.

"Lah, makanya. Gue kira gitu. Abis sepanjang jalan gue dikacangin terus. Gue mau nanya, Pak, Bapak hantu bukan? Gue takut."

"Buruan, Del. Durasi, nih." Dinar menyela tak sabar.

Adel melanjutkan ceritanya. "Setelah sampai rumah, gue liat dia menghela nafas lega. Gue tanya, kenapa? Apa dari tadi dia tahan nafas? Apa ketek gue bau?"

"Dia jawab apa, Del?" Dinar mulai penasaran dengan cerita Adel.

"Dia bilang, mbak juga kenapa diam aja? Saya kira hantu, tau. Dari tadi dia diam karena lagi baca-baca doa dalam hati."

"Jadi, selama perjalanan, lo berdua saling takut?"

"Iya." Adel menjawab lugu.

"Bagus, dia takut, lo takut. Artinya kalian berjodoh." Dinar mencibir cerita Adel yang konyol, bisa-bisanya Dinar menyimak cerita itu hingga akhir.

Tiba-tiba motor Adel mogok mendadak. "Del, motor lo kenapa malah mager di sini?"

Adel menggaruk kepalanya yang terbungkus helm. "Biasanya nggak pernah. Apa karena lo terlalu kasar meremas gas-nya?"

"Terus gue megangnya harus gimana, Del? Dielus, diraba, diterawang kek megang duit palsu? Apa diputer dijilat dicelup kek Oreo?" Dinar mulai gemas dengan ucapan Adel.

"Coba periksa spionnya, jangan-jangan kendor," perintah Adel.

"Apa hubungannya, Maimunah? Kapan,
sih, terakhir lo ganti oli?" tanya Dinar.

"Sincia (Imlek) taun kemaren hehe ...."

"Pantesan, Del. Punya motor itu dirawat, jangan dinaikkin doang." Dinar berkata kesal sambil memarkir motor Adel.

"Terus kita telat dong datang ke kajian?" tanya Adel dengan gusar. Wajahnya sudah keringatan, kerudungnya pun meleyot tertiup angin.

"Mau gimana lagi? Apa kita tinggalin aja motor rombeng lo ini? Terus kita naik taksi?" tawar Dinar.

"Eh, jangan. Nanti ilang. Gue bisa digantung ama bokap gue."

Adel dan Dinar tampak berpikir keras. Tiba-tiba sebuah mobil berlambang kuda jingkrak berhenti di depan mereka. Pengemudinya segera turun dari mobil.

"Kalian kenapa? Lusuh sekali?"

***

Kuda jingkrak, bok! Ehm, murah banget ....😁 Jargon siapa 'tuh?

Ini scene yang ringan aja, ya. Kemarin kan udah yang tegang-tegang 'tuh .... Hehe. Next part Adel bakal patah hati, kenapa hayo?

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang