12

14.4K 1.4K 3
                                    

Dinar pulang sebelum Azzam tiba di rumah. Ia mulai menyiapkan makanan untuk mereka makan malam. Azzam tak pernah menyuruhnya memasak, tapi Dinar cukup tau diri. Mulai saat ini ia akan belajar menjadi istri solehah seperti ummi-nya.

"Assalamualaikum."

Dinar buru-buru ke depan untuk menyambut suaminya. Tak lupa ia mencium tangan Azzam. Yang seperti ini ia contoh dari kebiasaan orang tuanya.

"Kamu masak?" Azzam melihat meja makan sudah penuh dengan makanan.

"Iya. Kamu belum makan 'kan?"

"Belum. Tapi aku tadi dapat ini dari hajatan." Azzam meletakkan besek hajatan di atas meja.

"Yah, mana udah capek-capek menyiapkan makanan." Dinar mengeluh. Padahal ia tinggal memanaskan saja masakan itu. Semua ummi-nya yang memasak. Tadi baru diantar lewat ojek online.

"Ini ditaruh kulkas saja. Buat sarapan besok." Azzam meletakkan besek hajatan ke dalam kulkas, untuk menghargai Dinar yang telah lelah memasak untuknya.

Setelah mencuci tangan, Azzam bersiap menyantap makanan yang katanya dimasak oleh Dinar, katanya .... Hehe.

"Kamu kenapa masak banyak gini?" tanya Azzam. Ia heran tak biasanya Dinar seperti ini. Biasanya Dinar hanya akan memasak satu menu saja. Tidak jauh-jauh dari triple T, tahu, tempe, telur.

"Lagi pingin aja."

Dinar mencari alasan. Entahlah tiba-tiba saja ia ingin makan besar. Hitung-hitung untuk merayakan perpisahan dirinya dengan Fabian.

"Lain kali masak satu macam saja. Toh kita cuma berdua. Sayang nanti mubadzir."

"Sekali-kali aja."

"Nanti malam kita jalan-jalan," kata Azzam tiba-tiba.

Dinar kegirangan karena ini pertama kali Azzam mengajaknya jalan-jalan.

"Ke mana?"

"Nonton mau?"

"Mau!"

"Ya sudah, habis sholat Isya."

Dinar tak sabar menunggu sampai bakda sholat Isya. Ia sibuk memilih-milih baju yang cocok. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dinar menghampiri Azzam yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Kita jalan-jalan naik apa?"

"Naik motor saya. Masa naik kepala kuyang." Azzam tertawa sampai terlihat lesung pipinya. Hampir seminggu menikah, Dinar baru sadar kalau suaminya memiliki lesung pipi. Keterlaluan!

"Naik motor yang itu?" Dinar menunjuk motor matic Vespa lama milik Azzam yang terparkir di halaman.

"Iya. Kenapa?"

"Eng ... Nggak papa, sih." Dinar ragu apa motor itu tidak mogok di jalan. Lihat bentuk nya saja sudah tua renta begitu.

Seolah mengerti kekhawatiran istrinya, Azzam menerangkan, "Tenang aja. Motor saya nggak pernah mogok. Saya rajin servis."

Setelah sholat Isya berjamaah Dinar dan Azzam pun berangkat jalan-jalan.

"Mas, kamu lagi banyak duit?" tanya Dinar.

"Alhamdulillah, tadi dapat upah dari nulis freelance."

"Alhamdulillah." Dinar ikut mengucap syukur.

"Sejak nikah sama kamu saya sering dapat rejeki. Memang benar, ternyata kalau kita menikah rejeki kita akan ditambah."

"Aku bawa hoki 'kan?" Dinar berkata bangga.

"Nggak boleh takabur. Rejeki datang nya dari Allah."

"Iya-iya, pak Ustadz!"

Tiba-tiba Dinar melihat ada tukang jagung bakar di tepi jalan. Ia segera menepuk pundak Azzam.

"Aku pingin jagung."

Azzam menepikan motornya di depan kios jagung. Dinar turun dengan semangat. Ia memesan dua buah jagung. Sembari menunggu jagung dibakar, mereka ngobrol-ngobrol ringan.

"Kamu beneran nggak mau kuliah?" tanya Azzam.

"Tahun depan aja." Dinar masih malas berkutat dengan buku. Sebenarnya ia tidak terlalu suka belajar. Dari ketiga anak abi-nya, hanya ia yang tak hafal Alquran dan hadis.

"Orang yang suka menuntut ilmu itu banyak keutamaannya. Diantaranya akan diangkat derajatnya. Ada hadis yang mengatakan, tuntut lah ilmu walau sampai ke negeri China. Menuntut ilmu itu wajib hukumnya, dari buaian hingga ke liang lahat."

"Eng ... Ngohey." Dinar malah menjawab dengan santai.

"Dinar?"

"Iya, pak Ustadz Azzam yang mulia dan santun." Dinar malah meledek Azzam.

Azzam hanya menggelengkan kepalanya menghadapi tingkah istri kecilnya itu.

Setelah makan jagung tiba-tiba hujan deras. Terpaksa mereka berteduh sejenak. Dinar yang memakai kemeja tipis agak menggigil, bahkan beberapa kali bersin.

"Yah, malah hujan!" Dinar mengeluh.

"Jangan begitu. Hujan 'kan rahmat. Allohumma soyyiban nafian." Azzam membaca doa ketika hujan.

Azzam melepaskan jaketnya, dia memakaikannya ke pundak Dinar. Seketika Dinar bersin mencium bau minyak bibit di jaket Azzam.

"Bau parfum kamu aneh."

"Namanya seribu bunga. Kalau sholat Jumat saya suka pakai yang itu. Sunnah memakai wangi-wangian."

"Nggak ada yang lebih soft apa?" Dinar jadi teringat bau parfum mahal milik Fabian, bau parfum yang disukainya. Aromanya maskulin tapi tidak nyegrak.

Ish, malah ingat dia. Nggak boleh! Ini namanya zinah pikiran, batin Dinar.

"Besok saya cari parfum yang lain di Condet."

"Kamu beli parfum di Condet?" Dinar meringis.

"Iya, kenapa?"

"Nggak papa." Dinar teringat abi-nya banyak memiliki koleksi parfum dari tanah suci. Besok ia akan minta sebotol untuk Azzam.

"Hujannya sudah reda. Ayo berangkat?"

"Aku ngantuk, Mas. Kita pulang aja." Dinar berubah pikiran, sepertinya tinggal di rumah sambil bergelung di selimut lebih enak.

"Lho? Nggak jadi nonton?"

"Nonton di ponsel aja, Mas."

"Baiklah."

***

Nonton Netflix, Mas. Hemat, cermat dan bersahaja😁

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang