"Ngerjain tugasnya masih lama, Din?" Azzam kesal karena dari tadi Dinar mengabaikannya.
"Bentar lagi." Dinar menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Kalau ngantuk jangan dipaksakan. Lanjutkan habis subuh aja." Nasihat Azzam. Ia juga memijat pundak istrinya.
"Nggak bisa, Mas. Takut nggak selesai."
"Ada yang bisa saya bantu?" Azzam ikut memeriksa pekerjaan Dinar.
"Mas mana tau masalah hukum?"
Azzam merasa tersinggung dengan perkataan Dinar. Siapa bilang ia tak paham hukum. Ia paham hukum syariah, ada hukum jual beli, hukum waris, hukum pernikahan. Namanya 'kan juga ilmu hukum.
Sekarang ia merasa menyesal karena menyuruh istrinya kuliah. Kini ia merasa kehilangan. Ia merindukan masa-masa di mana ia disambut istri setelah pulang kerja. Bebas jalan-jalan kapanpun. Dinar selalu siap menunggunya di rumah.
Sekarang mah boro-boro. Sejak kuliah kegiatan istrinya itu jadi semakin padat. Belum lagi kegiatannya mengikuti kajian agama ustadz Fahri dua minggu sekali. Belum ditambah tugas kelompok dari kampus.
Sepertinya mantan sialannya si Fabian itu sengaja memberinya banyak tugas, supaya Dinar tak punya waktu quality time bersama Azzam. Bukannya suudzon, dari sekian banyak dosen hanya Fabian yang memberikan banyak tugas.
Azzam mencoba memejamkan mata, tapi susah. Hatinya kesal dengan tingkah Dinar yang tak peka. Sejak malam Jumat yang terlewat sia-sia di rumah mertuanya, hingga sekarang mereka belum 'bersilaturahmi' lagi.
"Din, masih lama?" Azzam bertanya untuk kesekian kali. Membuat Dinar merasa jengah.
"Kenapa, sih, Mas? Kalau kamu ngantuk tidur aja duluan."
"Ini udah jam sebelas malam loh." Azzam menujukkan jam di ponselnya.
"Kayaknya aku bakalan begadang deh."
Ucapan Dinar membuat Azzam membelalakkan mata, "Apa?"
"Becanda hehe ...." Dinar membuat tanda victori sambil cengengesan.
"Tidur! Ini perintah."
"Kamu tidur sendiri nggak bisa, Mas?"
"Nggak bisa!"
"Selama 28 tahun tanpa aku, kamu kan tidur sendiri, Mas?" protes Dinar.
"Itu 'kan dulu. Sekarang nggak bisa."
"Nih." Dinar malah mengulurkan sebuah selotip. Azzam menerimanya dengan heran.
"Buat apa?"
"Buat selotip mata kamu."
"Benar-benar kamu!"
"Apa mau ini?" Dinar mengulurkan strapless imut berwarna pink bermotif sapi.
"Sekalian mata kamu distrappless aja."
Azzam kesal mendengar ucapan istrinya, yang benar saja, matanya ini mau disepotip, distrapless juga.
"Dinar!"
"Iya-iya."
Dinar menutup laptopnya dan segera naik ke ranjang. Tiba-tiba terdengar suara perut Azzam.
"Saya lapar."
"Bukannya tadi udah makan malam?" tanya Dinar malas. Jangan bilang Azzam ingin disiapkan makan malam juga. Dinar malas kalau harus masak malam-malam.
"Lapar lagi, emang nggak boleh?"
"Ya udah, aku bikinin mi instan." Dinar bersiap ke dapur dengan ogah-ogahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.