40

11.1K 1K 1
                                    

"Makan yang banyak, Zam. Sengaja ummi masak rendang ini buat kamu." Haji Hamidah menuangkan lauk di piring menantu kesayangannya. Sedang Dinar sedari tadi mengabaikan Azzam. Ia masih kesal dengan pembahasan mereka terakhir kali.

"Fatimah, kamu juga makan yang banyak, ya. Jangan sungkan." Hajah Hamidah juga menuang lauk di piring menantu perempuannya. Fatimah hanya tersenyum, walau ia tak paham bahasa mertuanya.

Haji Arifin hanya diam, fokus dengan makanannya. Tiba-tiba Hussein yang sedang berlarian menabrak kakinya. Semua diam, takut anak itu dimarahi oleh Haji Arifin.

Tapi ternyata yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pria itu menghentikan suapannya. Ia mengangkat cucunya tersebut, diletakkan di pangkuannya.

"Kalau makan tidak boleh lari-lari. Tadi sudah doa belum?" tanya Haji Arifin kepada Hussein, mengunakan bahasa Arab yang sangat fasih. Maklum, beliau semasa muda pernah berkuliah di Kairo dan beberapa negara Timur Tengah lainnya.

Bahkan dengan telaten Haji Arifin menyuapi cucunya itu. "Mi, ambilkan perkedel itu. Rendang ini pedas. Kasihan dia nggak bisa makan."

Hajjah Hamidah segera menuruti perintah suaminya. Semua yang ada di sana merasa sangat terharu. Karena Haji Arifin menerima Hussein dengan baik. Meski ia kecewa dengan pernikahan Thoriq dengan Fatimah yang tanpa seijinnya.

***

Di dalam kamar, Dinar masih mengabaikan suaminya. Ia sibuk mendengarkan tutorial belajar bahasa Arab dari YouTube.

"Kamu lagi belajar bahasa Arab?" tanya Azzam berbasa-basi. Lama-lama ia merasa tak tahan juga didiamkan oleh istrinya.

"Iya." Dinar menjawab singkat. Enggan melihat wajah suaminya.

"Kenapa tiba-tiba ingin belajar bahasa Arab?" tanya Azzam lagi. Ia lega, karena Dinar masih mau menjawab pertanyaan darinya.

"Biar bisa ngobrol sama kak Fatimah, sama Hussein juga."

Azzam menahan senyum. Takut istrinya tersinggung, karena merasa ditertawakan. "Ayo, saya ajari."

"Emang, situ bisa?" tanya Dinar mencela. Sepertinya ia lupa kalau Azzam juga lulusan negeri raja Firaun itu.

"Saya pernah ke sana, kuliah juga. Empat tahun malah." Azzam menjawab sambil tersenyum.

"Sombong!" Dinar yang kadung malu, berniat hendak pergi keluar. Lebih baik bermain dengan Hussein saja. Walaupun jago meroasting, tapi Dinar tetap sayang dengan anak itu.

"Mau kemana?" tanya Azzam ketika melihat istrinya hendak pergi.

"Lebih baik aku main sama Hussein. Daripada nungguin suami tukang poligami." Dinar menjawab asal.

"Siapa, sih, yang mau poligami? Nafkahin kamu aja, saya masih pas-pasan. Apalagi nambah personil lagi. Belum mampu saya."

"Belum mampu? Oh, artinya ada niatan ke sana, ya? Nanti, kalau sudah kaya. Mending kamu miskin terus aja, Mas."

"Bukan begitu. Aduh, gimana cara ngasih tau kamu? Kayaknya apa aja keluar dari mulut saya salah." Azzam mengeluh sambil menggaruk pelipisnya.

"Aku mau kamu janji, Mas. Kalau perlu di kertas bermaterai. Kalau kamu nggak akan menikah lagi. Apapun yang terjadi. Walau abi yang nyuruh kamu. Aku nggak ikhlas pokoknya." Dinar bicara dengan berapi-api. Secara tidak langsung menunjukkan betapa besar rasa cintanya kepada Azzam.

"Iya, saya janji. Saya tau betapa kamu takut kehilangan saya. Saya merasa terharu, dan juga tersanjung." Azzam malah meledek istrinya.

"Kamu nggak usah GR ya, Mas. Aku 'tuh cuma nggak mau uang belanja dari kamu berkurang, itu aja kok." Pipi Dinar memerah. Ia mati-matian mengelak. Gengsi mengakui kalau ia takut kehilangan Azzam.

"Iya, saya percaya." Azzam makin senang meledek istrinya.

"Makanya, jadi orang jangan keGRan!" Dinar memalingkan muka, berusaha menyembunyikan wajahnya yang seperti udang rebus.

"Tapi, Dinar ... berbagi itu indah loh ...."

Dinar melotot mendengar perkataan suaminya. "Mas! Kamu 'tuh, ya!"

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang