15

14.9K 1.4K 14
                                    

Dinar dan Azzam berbelanja kebutuhan bulanan di minimarket dekat rumah. Dinar mengeluh sabun mandinya habis. Dinar merasa akhir-akhir ini sabun mandinya cepat habis, kenapa ya?

(Hayo kenapa? Jangan suudzon sama ustadz Azzam, dia ustadz loh hehe ...)

Tiba-tiba mereka bertemu dengan Fabian. Dinar mengeluh, dari sekian banyak minimarket di Indonesia, kenapa Fabian harus berbelanja di minimarket dekat rumahnya.

"Nggak nyangka ketemu di sini."

Fabian melihat penampilan Azzam dari atas ke bawah. Lumayan juga, pikirnya. Untung saja saat itu Azzam menggunakan sandal jepit pemberian Dinar.

Azzam melirik ke arah Dinar, seolah bertanya, siapa laki-laki yang menatapnya dengan kurang ajar ini.

"Saya mantan Dinar."

Fabian memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri. Azzam menyambut tangannya dan menjawab dengan penuh percaya diri pula.

"Saya suaminya."

Fabian menipiskan bibir, sekeren apapun dia sebagai mantan, masih kalah dengan pria berstatus suami di depannya ini.

"Oh, ya. Selamat menikmati bekas saya."

Fabian berlalu setelah mengatakan hal itu, Dinar hanya bisa menatapnya dalam. Tiba-tiba Azzam menahan pundak Fabian.

"Apa maksud anda sebenarnya?"

"Tanya saja pada istri Anda. Apa yang sudah kami lakukan saat masih pacaran. Ngomong-ngomong waktu satu tahun itu tidak sebentar lho. Yah, sudah banyak yang kami lewati ...."

"Langsung saja pada intinya," kata Azzam tegas.

"Masa anda tak tau pergaulan jaman sekarang?" Fabian sengaja memancing kemarahan Azzam.

"Saya tidak tahu." Azzam menjawab singkat.

"Kalau begitu biar saya terangkan, apa-apa saja yang sudah kami lakukan." Fabian tersenyum miring.

Azzam mulai mengerti arah pembicaraan Fabian, ia menoleh ke arah istrinya. Tampak wajah Dinar yang pucat pasi, seperti ingin menangis.

"Nggak perlu, nggak penting juga." Azzam memotong ucapan Fabian. Kemudian ia menggandeng tangan Dinar.

"Ayo kita belanja ke tempat lain," kata Azzam.

Fabian melihat kepergian kedua orang itu dengan geram. Niatnya untuk memanasi Azzam gagal. Ternyata pria itu tak mudah dipancing.

***

Dinar menghampiri Azzam yang sedang sibuk mengerjakan tugas kantornya.

"Mas?"

"Hm."

"Kamu marah?" Dinar bertanya takut-takut. Azzam lebih banyak diam setelah mereka pulang berbelanja.

"Kenapa kamu tanya begitu?" Azzam masih tetap fokus dengan layar laptopnya.

"Yang dibilang mantan aku itu nggak bener." Dinar menggigit bibirnya, berharap Azzam percaya padanya.

"Saya tau."

"Kamu percaya sama aku 'kan?"

"Percaya."

"Beneran?"

"Iya."

Dinar menarik nafas lega. Untung saja Azzam tak termakan hasutan Fabian.

"Syukur deh. Tapi kenapa kamu percaya aku dibandingkan dengan dia?"

"Jelaslah, saya lebih percaya istri saya sendiri ketimbang orang lain."

"Kalau aku bohong?" tanya Dinar.

"Itu urusan kamu dengan Allah." Azzam menjawab santai, tapi mengancam hehe ....

"Sebenarnya bisa saja aku buktikan." Dinar berkata sambil memilin ujung bajunya.

"Gimana caranya?" tanya Azzam sambil tersenyum. Ia mengerti maksud Dinar.

"Karena kamu udah percaya ya udah, nggak jadi." Wajah Dinar memerah, menyesal karena telah mengatakan hal bodoh.

"Saya percaya, keturunan kiai Arifin tidak mungkin melakukan hal seperti itu," kata Azzam. Yang dimaksud Azzam adalah perbuatan seks bebas.

"Terus yang tadi gimana?" goda Azzam.

"Apanya?"

"Katanya mau membuktikan?"

Wajah Dinar semakin memerah, "Nggak jadi."

"Kenapa nggak jadi?" Azzam semakin senang menggoda Dinar.

"Udah sore, aku mau masak." Dinar ingin pergi ke dapur, ia kadung malu setengah mati.

Azzam mencekal tangan Dinar, "Tunggu dulu. Saya mau tau, gimana cara kamu membuktikan."

"Ih, lepasin. Aku mau masak, tau!" Dinar meronta-ronta manja. Akhirnya Azzam melepaskan pegangannya.

"Ya udah, masak yang enak, ya." Azzam tidak tega menggoda istrinya lebih lama.

"Kalau udah nggak marah bantuin aku masak," perintah Dinar.

"Boleh."

Dinar berlalu ke dapur, diikuti oleh Azzam.

***

"Mas, apa harus dipotong Chiko-nya?" Dinar merasa ngeri melihat ayam yang sudah pasrah di tangan Azzam. Sedang Dinar disuruh Azzam untuk mengasah pisau.

"Siapa Chiko?" Azzam mengerutkan dahi.

"Itu, ayam yang kamu pegang."

"Ya memang harus dipotong, memangnya kamu mau makan ayam hidup-hidup?" tanya Azzam sambil tertawa.

"Nggak tega aku, Mas. Dia udah aku anggap seperti kedelai Malika." Dinar mengelus kepala Chiko dengan sayang.

"Jadi masak opor atau tidak?" tanya Azzam.

"Kita beli ayam potong aja deh, Mas." Dinar tak kuasa melihat sorot memelas dari ayam malang itu. Selama ini telah terjalin ikatan batin antara ia dan ayam itu, saat dirinya memberi makan Chiko dengan makanan sisa.

"Dia udah tua, sebaiknya segera dipotong sebelum dagingnya semakin alot. Udah nggak produktif juga, jarang bertelur." Azzam mengambil alih pisau di tangan Dinar.

"Tapi kasian, Mas. Kamu mau kalau kamu udah pensiun nanti dan udah nggak produktif terus dipotong?"

Azzam tak habis pikir dengan cara berpikir istrinya, "Saya orang, dia ayam. Di mana letak persamaannya, hm?"

"Sama-sama makhluk hidup," kata Dinar pelan. Azzam hanya menggelengkan kepala.

"Sampai kapan kita berdebat? Saya keburu lapar."

"Jangan eksekusi dia, Mas. Kita makan tempe aja." Dinar merebut pisau di tangan Azzam.

"Ya sudah, terserah."

Azzam melepaskan Chiko dengan kesal, ia bergegas masuk ke rumah.

"Untung kamu selamat." Dinar berbicara kepada ayam itu.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang