42

10.4K 963 9
                                    

Akhir-akhir ini Azzam merasa ada yang berubah dengan perilaku istrinya, semacam lebih perhatian. Biasanya Dinar tak menanyakan ingin dimasakkan apa, perempuan itu hanya memasak makanan instan yang sekiranya tidak merepotkan. Dan Azzam tak masalah dengan itu. Ia akan makan apa saja yang dihidangkan di meja. Sebagai seorang suami, ia adalah tipe yang mudah dirawat dan tidak banyak tuntutan.

"Mas, kamu nanti mau dimasakin apa?" tanya Dinar, ketika Azzam hendak berangkat kerja.

"Mau masak lagi? Tumben tiap hari masak? Memang semur kemarin udah habis?" Azzam malah bawel bertanya.

"Ya harus ganti dong, Mas. Yang kemarin itu mau aku buang aja."

"Eh, jangan. Kan mubazir, masih bisa diangetin 'kok. Nanti aku makan."

"Terserah kamu lah, Mas. Udah baik aku mau masakin kamu setiap hari. Eh, maunya makan masakan sisa kemarin." Dinar malah menggerutu sambil masuk rumah.

Azzam hanya bisa menebak, apa lagi yang ada di pikiran istrinya? Sepengetahuannya memasak adalah pekerjaan yang paling dihindari oleh perempuan itu. Biasanya Dinar akan memasak makanan yang sekiranya tak gampang basi, biar bisa dimakan beberapa hari ke depan.

Pernah juga Azzam hanya diberi makan kering tempe selama empat hari berturut-turut. Kalau tidak serundeng. Pokoknya yang kering-kering. Dipikir tidak seret apa makan begitu setiap hari?

Tapi, Azzam mencoba untuk mengerti keadaan istrinya. Memang tidak mudah menuntut ilmu sekaligus menjalankan peran sebagai seorang istri. Baginya perkara memasak bukan masalah besar. Asal istrinya itu masih mau menanak nasi untuknya, Azzam sudah sujud syukur.

Dinar memutuskan untuk menyetrika baju saja. Tadi ia berencana untuk belanja ke pasar. Tapi ia mengurungkan niatnya karena Azzam melarangnya masak.

Padahal ia ingin berubah menjadi istri dalam versi yang lebih baik. Ia sadar, yang kemarin itu ia kurang perhatian kepada suaminya. Sejak adanya wacana poligami kakaknya, Dinar jadi takut kalau Azzam akan menduakannya.

Itulah sebabnya, beberapa hari ini ia lebih rajin belajar masak. Kata ummi, merebut perhatian pria itu tidak susah. Bisa dimulai dari urusan perut, lalu perlahan turun ke ... dengkul.

Setelah sepuluh menit, akhirnya pekerjaan menyetrika itupun rampung. Maklum tak banyak kemeja Azzam yang perlu disetrika, hanya pakaian dinas saja. Selebihnya baju koko yang tak seberapa kusut.

Dinar jadi bosan di rumah, tak ada pekerjaan yang bisa ia lakukan. Kebetulan hari ini ia libur kuliah. Daripada suntuk di rumah lebih baik ia pergi jalan-jalan saja. Ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Azzam.

Deringan ke sepuluh baru diangkat, mungkin Azzam sedang berada di jalan. "Waalaikum salam, ada apa?"

"Aku mau ijin keluar, Mas. Boleh, nggak?" tanya Dinar, sebagai formalitas saja. Katanya dosa kalau keluar rumah tanpa seijin suami.

"Kemana?"

"Jalan-jalan aja, bosan di rumah."

"Nanti aja, sama saya. Tunggu pulang kerja." Tak biasanya Azzam melarang. Tapi ia pikir akhir-akhir ini istrinya itu terlalu sering pamit pergi ke luar rumah

"Kamu gimana, sih, Mas? Aku maunya jalan sekarang. Cuma makan sama Adel kok, terus pulangnya mampir ke rumah ummi." Dinar kesal karena dilarang Azzam pergi.

"Ya udah, nanti aku jemput ke sana sepulang kerja."

***

Dinar mengajak Adel ketemuan di kafe langganan mereka. Sekalian ia ingin curhat masalah poligami kakaknya yang gagal terlaksana.

"Ha? Kakak lo hampir poligami?" tanya Adel lantang.

"Volume suara lo apa nggak bisa dikecilin? Lo kira lagi ngomong sama Haji Bolot?" Dinar mengorek telinganya sembari memperhatikan sekitarnya.

"Habis gue kaget, Din. Agama kita, sih. Ngebolehin aja poligami. Kan keenakan yang laki, berasa sultan 'tuh punya hareem banyak." Adel malah lebih emosi daripada Dinar.

"Nggak bisa banyak-banyak juga, Del. Maksimal empat. Lagian pasti ada hikmahnya kok. Cuma kita aja yang nggak tau, apa hikmahnya."

"Iya, juga. Mungkin karena jumlah wanita lebih banyak dari pria. Katanya empat kali lipat. Belum lagi, sekarang banyak pria yang homo. Kalau dipasangin seorang sama seorang, banyak yang nggak kebagian tuh, termasuk gue. Aduh, mana gue masih jomblo." Adel malah panik sendiri. Dinar apalagi. Tidak bisa membayangkan harus berbagi suami dengan wanita lain.

"Mending agama saya, nggak ada yang namanya poligami 'tuh. Nggak ada juga yang namanya perceraian."

Adel dan Dinar menoleh bersamaan, tampak Fabian yang sedang berdiri di samping mereka.

"Kok ada dia sih, Del?" Dinar berbisik di telinga Adel.

"Gue nggak undang kok, suer. Tau-tau aja dia nongol. Mungkin dia ngikutin elo. Udah kayak satelit, deh." Adel memberi penjelasan, sebelum Dinar menuduhnya bersekongkol.

"Saya nggak ngikutin siapa-siapa. Saya punya hak pergi kemana saja. Lagipula ini kafe publik." Fabian beralasan. Ia memang ada urusan dengan salah satu kliennya di kafe ini.

"Kok bisa pas, ya? Diantara sekian banyak kafe yang bertebaran di ruas jalan ini, entah mengapa Om pilih kafe ini?" tanya Adel curiga.

"Bukan saya yang pilih, klien saya yang mau ketemu di sini. Beberapa menit lagi dia juga akan datang," kata Fabian, seraya memeriksa jam tangan mahalnya.

"Oh, kirain ...." Adel menggaruk kepalanya, merasa bersalah karena asal menuduh.

"Nggak usah keGRan. Saya orang sibuk. Mana mau menghabiskan waktu untuk menguntit kalian." Fabian malah duduk di kursi kosong di depan Dinar. "Sampai mana pembahasan kita?"

"Nggak ada yang perlu dibahas, Om. Ini masalah keyakinan masing-masing. Roaming kalau kita diskusikan hehe ...." Adel yang menjawab pertanyaan Fabian.

"Iya, beda chanel." Dinar menambahkan.

"Coba kamu menikah dengan saya, apalagi mengikuti keyakinan saya. Pasti kamu akan saya jadikan satu-satunya dalam hidup saya. Nggak ada yang namanya poligami, atau perceraian. Lebih safety bukan?" Fabian meninggalkan Dinar dan Adel, pergi menuju meja kliennya yang baru datang.

Dinar hanya bisa diam, tak ada niatan menanggapi perkataan Fabian sama sekali. Sedang Adel bergantian memperhatikan raut wajah Dinar, dan juga punggung Fabian yang menjauh.

"Lah, dia malah ngajak colab."

***
Agama Fabian sengaja nggak gue kasih tau ya, Gaes. Ntar dikira SARA atau bagaimana ....

Yah, pasti kalian tau sendiri lah, agama apa yang nggak memperbolehkan perceraian. Nah, itu agama dia hehe ....

Nggak usah di spill di kolom komentar juga 😁

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang