Hari pernikahan Dinar dan Azzam berlangsung dua hari lagi. Dinar pusing bukan kepalang. Di satu sisi ia ingin kawin lari bersama Fabian, tapi di sisi lain ia takut sang abi terkena serangan jantung.
"Berdua, bersamamu ... mengajarkanku, akan artinya kenyamanan, kebersihan, keimanan ... Cintaaaa ...." Adel menyanyi sesuai selera, liriknya dia ubah, apalagi nadanya ... beh, lari ke mana-mana.
"Lagu lo ngaco!" Dinar menyumpal mulut Adel dengan gorengan.
"Aw, pangas!" kata Adel sambil mengunyah gorengan yang masih panas.
"Serah, mulut-mulut gue! Awas lo ya kalau gue udah jadi Diva. Lo mesti beli tiket kalau nonton konser gue." Adel sesumbar.
Dinar memutar bola mata, "Lo kasih gratisan tiket VVIP juga gue nggak bakal datang."
"Masalah lo sama kekasih gadun lo udah beres?" Tentu saja yang dimaksud Adel adalah Fabian.
"Belum, sih."
"Tega lo, ya. Lo nggak mikirin perasaan dia karena udah lo tinggalin? Setelah singgah bentar, lo pergi gitu aja. Lo pikir hati dia rest area?"
"Gue juga nggak enak ninggalin dia gitu aja. Tapi gimana lagi? Gue nggak ada pilihan. Bokap gue cuma satu, kalau sampai kenapa-napa? Gue bisa digeruduk umat," sanggah Dinar.
"Dia lo undang datang ke nikahan?" tanya Adel.
Kalau diundang 'kan lumayan, bisa Adel mintai tebengan, juga sekalian jadi teman kondangan, biar nggak ngenes-ngenes amat kelihatan jomblonya.
"Kayaknya nggak usah deh."
"Hem, iya juga. Mending jangan. Bisa-bisa ntar lo dibawa kabur sama dia."
Adel baru saja selesai membaca sebuah novel tentang seorang pengantin wanita yang diculik mantan kekasihnya. "Setelah di-unboxing, baru dibalikin lagi ke mempelai pria, kan brengsek banget!"
"Lo dateng 'kan?" tanya Dinar, mengalihkan pembicaraan.
"Lo tenang aja, di mana ada hajatan disitu gue berada. Itu udah jadi habitat gue untuk memperbaiki gizi." Adel nyengir kuda.
"Makasih, ya."
"Btw, lo dikasih mas kawin apa sama laki lo?" tanya Adel antusias. "Secara putri bungsu dai kondang ya 'kan? Nggak mungkin mas kawinnya asal-asalan."
"Duit gopek."
"What? Setengah miliar?"
Dinar memutar mata, "Lima ratus ribu, elah!"
"Lebih mahal tarif ngelesbong semalem," cibir Adel.
Flash back
"Ini, Nak Azzam." Ummi menyerahkan sebuah kotak perhiasan. Itu adalah perhiasan turun temurun dari keluarga Abi yang diberikan kepada ummi sebagai mas kawin.
"Ini untuk apa, Ummi?" tanya Azzam.
"Buat nambah-nambah seserahan besok. Boleh juga kamu sebutkan saat akad nikah sebagai mas kawin. Ini semua beratnya 200 gram," jelas ummi.
Azzam menghela nafas, ia paham maksud calon mertuanya itu. Azzam berkata dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan calon mertuanya.
"Maaf, Ummi, Abi. Tanpa mengurangi rasa hormat saya. Sepertinya saya tidak bisa menerima ini. Saya akan memberikan mas kawin sesuai kemampuan saya. Kebetulan saya ada uang lima ratus ribu. Tidak apa-apa 'kan?"
Haji Arifin menghela nafas, kemudian ia mengangguk pelan.
"Nggak papa, Zam. Bukankah sebaik-baiknya wanita adalah yang paling sedikit maharnya?"
Azzam menghela nafas lega, ternyata mertuanya mengerti maksudnya. Semula ia takut mertuanya tersinggung karena ia memberikan mas kawin dalam jumlah sedikit.
Yah, siapa yang tidak tau keluarga Haji Arifin. Keluarga yang terkenal kaya tujuh turunan tujuh tanjakan, dermawan pula. Benar-benar kesayangan masyarakat sekitarnya.
Azzam yang hanya pemuda miskin, ia merasa sangat beruntung karena dijadikan menantu oleh pria itu.
Flashback end.
"Coba kamu jadi nikah sama aku, pasti nggak malu-maluin." Tiba-tiba Fabian muncul di samping Dinar.
"Mau kamu undang apa enggak, aku bakalan datang. Aku pingin liat, seberapa hebatnya menantu pilihan abi kamu itu," lanjut Fabian. Ia mengambil duduk di samping Dinar.
Adel mengangkat kedua tangan, tanda tak mau ikut campur, kemudian ia kabur ke kamar mandi.
"Aku takut kamu diusir abi kalau nekat datang." Dinar menundukkan wajahnya.
"Nggak papa, aku akan pergi. Paling nggak aku udah nggak penasaran." Fabian berkata datar.
"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Dinar.
"Lagi suntuk, abis dicampakkan." Fabian sengaja menyindir Dinar.
"Maaf, aku nggak bermaksud." Dinar berkata tulus. Ini memang salahnya. Sudah tau hubungannya dengan Fabian tak akan happy ending, eh malah nyari perkara.
"Jujur sama aku. Yang kemarin kamu pacaran sama aku, itu tulus apa modus?" tanya Fabian.
"A-aku tulus, kok."
Dinar menunduk. Ia memang berkata jujur. Waktu itu ia merasa nyaman menjalin hubungan dengan pria yang lebih dewasa seperti Fabian. Daripada pacaran sama teman seusianya, sudah bokek, kebanyakan tuntutan.
"Apapun yang terjadi jangan ninggalin aku, janji?"
Dinar hanya diam, ia tak tau harus menjawab apa. Kenapa dia harus terjebak dengan kisah rumit seperti ini?
***
Yang pernah punya pacar beda agama, jujur waktu itu kalian mikir nggak hubungan kalian mau dibawa ke mana? Atau nggak mikir, yang penting jalanin aja dulu, tau-tau setelah dijalani makin serius, baru mikir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.