"Memangnya gaji kamu berapa, Mas?" tanya Kia dengan polosnya.
Fabian tertawa mendengar pertanyaan istrinya. "Nggak pasti, Kia. Saya 'kan bukan pegawai kantoran yang punya pendapatan tetap. Biasanya saya dibayar per kasus. Alhamdulillah, kalau kasus perdata biasanya dua digit, kalau kasus besar atau pidana bisa tiga digit. Tinggal kalikan sebulan, biasanya sebulan ada tiga sampai lima kasus yang saya tangani. Nggak berani ngambil banyak, takut nggak bisa maksimal."
"Kalau ngambil kasus dari LBH saya nggak ngambil bayaran, alias pro bono. Hitung-hitung sebagai sedekah tenaga." Fabian menambahkan.
Kia melongo mendengar jawaban Fabian. Kini ia tau, darimana datangnya semua aset Fabian yang berupa apartemen mewah, deposito ribuan dollar, dan juga mobil mewah yang semua kini sudah atas nama Kia.
Kia tersenyum bangga, sepertinya Fabian mengelola hidupnya dengan baik. Kini Kia yang tinggal menikmati hasil kerja kerasnya.
"Kalau kita sampai bercerai, kamu bisa jatuh miskin dong, Mas? Kan semua aset kamu udah atas nama aku?" Kia bertanya sambil tertawa. Sekedar bercanda.
Tawanya terhenti ketika melihat Fabian tidak ikut tertawa bersamanya. "Maaf, Mas. Aku cuma bercanda aja kok."
"Jangan diulang lagi, Ya. Walaupun sekedar bercanda. Saya takut, Kia. Karena ucapan adalah doa." Fabian berkata dengan serius.
Kia mengelus punggung tangan Fabian. "Iya, Mas. Aku janji nggak akan kayak begitu lagi. Emang kamu takut banget, kalau jatuh miskin?"
"Bukan karena miskin, saya lebih takut kehilangan kamu. Saya niatnya menikah ya seumur hidup. Nggak ada kepikiran buat bercerai."
"Kalau poligami?" Kia menaik turunkan alisnya, sengaja menggoda.
"Kalau kamu mengijinkan." Fabian balik menggoda Kia. Berhasil, wajah Kia langsung berubah masam.
"Taunya buaya juga."
Fabian tertawa mendengar ucapan Kia. "Saya cuma bercanda. Emang kamu aja yang boleh bercanda?"
Tiba-tiba Kia teringat sesuatu. "Mas, aku boleh nanya satu lagi?"
"Iya, boleh." Fabian mendekatkan duduknya dengan Kia. Ia menyimak wajah istrinya dengan serius.
"Kamu ... waktu pacaran sama Dinar ...."
Fabian mengangkat alis, ia segera memotong ucapan Kia. "Yakin, mau bahas itu?"
"Sekedar ingin tau aja, Mas. Emang nggak boleh? Aku 'kan penasaran, gimana ceritanya kamu bisa macarin adik aku yang masih anak-anak, kalian ngapain aja. Apa kamu pedofil ...."
"Kia ...." Fabian memutar bola mata malas.
"Eh, maaf. Bercanda aja kok. Jawab aja, Mas. Biar aku nggak penasaran lagi." Kia malah merajuk manja. Membuat Fabian jadi gemas.
"Memang ada gunanya bahas masalah itu? Nggak ada pengaruhnya juga, Kia. Lagipula kita sudah menikah." Fabian menolak membahas masalah Dinar. Ia takut setelah ini istrinya itu malah ngambek atau cemburu.
"Ayolah, Mas. Aku maksa, loh."
"Tapi janji, setelah saya ceritakan kamu nggak akan marah."
Kia mengangguk cepat, antusias ingin segera mendengar cerita Fabian dan mantan kekasihnya yang notabene adik kandungnya (Halah ribet, kek sinetron Indosiar) sering ia bertanya kepada Dinar, tapi adiknya itu hanya bungkam, tak mau menjawab.
"Saya kenal Dinar waktu di bimbel. Kebetulan keponakan saya minta dijemput. Katanya mau naik grab, saldo ovo-nya habis. Telpon orang tuanya malah dikacangin. Setelah itu saya dikenalin sama Dinar, dan yah, tukeran IG, WA, em ... dia nanya LinkedIn juga kayaknya. Dari situ komunikasi, yah kayak biasa, deket, udah." Fabian sengaja mempersingkat ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.