"Tega kamu, Mas." Dinar hendak bangkit dari duduknya, tapi tangannya segera ditahan oleh Azzam.
"Dengar, dulu."
"Nggak usah pegang-pegang. Aku benci sama kamu, Mas. Daripada kamu poligami, mending kamu ceraikan aku dari sekarang."
"Dinar, jangan seperti anak kecil. Ingat, kita masih ada di rumah abi. Kita masih bisa bicara baik-baik, nggak perlu ada adegan drama seperti ini." Azzam menekan suaranya, ia malu kalau sampai mertuanya mendengar perdebatan mereka.
"Drama kamu bilang? Terang aja aku marah. Suamiku mau kawin lagi!" Dinar bicara cukup keras, hungga membuat Hajjah Hamidah datang dengan tergopoh-gopoh dari dapur.
"Siapa yang mau kawin lagi?" tanya Hajjah Hamidah kaget.
Azzam dan Dinar hanya diam. Mereka tak tau harus menjawab apa. Kedua orang itu hanya saling pandang.
"Nggak ada yang mau jawab? Ini Ummi masih nungguin lho." Haji Hamidah merasa tak sabar.
Akhirnya Azzam angkat bicara. "Cuma salah paham, Ummi. Kalau boleh, saya bawa Dinar pulang sekarang juga." Azzam sekalian berpamitan kepada mertuanya.
"Oh, iya. Silakan. Udah mendung juga, pasti sebentar lagi hujan." Hajjah Hamidah menengadah ke langit, memang benar, awan sudah berwarna kelabu, sebentar lagi pasti turun hujan.
Hajjah Hamidah masuk ke dalam kamar, hendak mengambil tas Dinar. Tak lama ia kembali. "Periksa lagi. Siapa tau ada yang ketinggalan," ujar Hajjah Hamidah seraya menyerahkan tas Dinar.
"Kami pamit, Ummi. Salam buat abi." Azzam berpamitan dengan sopan.
"Iya, hati-hati. Nanti Ummi sampaikan salamnya." Hajjah Hamidah berkata dengan ramah, pura-pura tak tau pertengkaran anaknya. Sebagai orang tua ia merasa tak perlu ikut campur kalau tidak diminta.
Dinar diam saja ketika Azzam menggandeng tangannya. Ingin ia hempasan saja tangan itu, tapi Dinar takut Ummi-nya jadi curiga.
***
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Berkali-kali Azzam mengintip ekspresi Dinar dari kaca spion. Memang tampak masam.
Azzam menghela nafas dan menepikan motornya. Membuat Dinar protes. "Kenapa malah berhenti di sini, sih?"
"Saya nggak mau membawa masalah ke rumah. Kita selesaikan di sini saja."
"Tapi nggak enak kalau di dengar orang." Dinar melihat sekeliling, agak sepi.
"Kalau kita bicara baik-baik, pasti nggak akan menarik perhatian orang-orang." Azzam duduk di kursi kayu panjang yang ada di bawah pohon.
Ia menepuk tempat di sampingnya. "Ayo, sini."
Dengan ragu Dinar menghampirinya, ia duduk di tempat yang agak jauh. Di ujung bangku lebih tepatnya.
"Kenapa jauh?" Azzam menggeser posisinya, agar bisa lebih dekat dengan istrinya. Dinar menghindar, tanpa sadar ia hampir terjatuh.
"Makanya, dikasih tau nggak nurut, sih." Azzam membantu Dinar untuk bangkit.
"Mau bicara apa, sih? Cepat. Keburu hujan." Dinar memalingkan wajah ke arah lain. Enggan menatap wajah suaminya.
"Etika berbicara itu, harus menatap lawan bicara."
"Udah, jangan terlalu banyak opening, langsung saja pada intinya!" bentak Dinar.
Azzam menghembuskan nafas perlahan sebelum bicara. "Dinar, dengar. Saya hanya akan bicara sekali. Tolong kamu renungkan baik-baik."
"Saya tidak berani berjanji tentang sesuatu yang tidak pasti. Allah maha pemilik hati manusia, dan Allah maha pembolak-balik hati. Sekarang saya bisa saja bicara tidak, tapi hari esok siapa yang tau. Semua terjadi menurut kehendak Allah. Saya sebagai makhluk hanya bisa pasrah."
"Itu alasan kamu aja kan, Mas?" Dinar memotong dengan sengit.
"Saya cuma nggak mau mendahului takdir. Akhirnya saya ingkar janji. Kita lihat saja yang akan terjadi besok. Tapi, yang pasti, untuk saat ini ... saya cukup dengan kamu seorang."
"Tetap aja itu nggak bikin aku tenang, Mas." Dinar hampir menangis karena Azzam tak mau berjanji untuknya.
"Jangan bahas masalah itu lagi. Kehidupan kita sekarang sedang baik-baik saja. Jangan dirusak dengan segala prasangka yang belum tentu terjadi. Apapun yang terjadi nanti, kita harus menjalani dengan ikhlas. Tunduk saja pada kehendak Allah." Azzam berharap istrinya mau mengerti. Sejujurnya di dalam hati ia tak ada niatan sama sekali untuk berpoligami, tapi balik lagi, takdir Allah siapa yang tau.
"Cintailah saya seperlunya saja. Jangan terlalu berlebihan."
Dinar mengerti maksud ucapan suaminya. Ia mengangguk, kemudian memeluk Azzam dari samping.
"Janji, nggak akan bahas itu lagi?"
Dinar mengangguk. Azzam lega karena istrinya telah mengerti. Allah telah memberi hidayah untuk istrinya.
"Lebih baik sekarang kita fokus ke pendidikan kamu. Kemudian ... program kita untuk memiliki anak. Setuju?"
Dinar mengangguk lagi. "Setuju."
"Alhamdulillah." Azzam tersenyum dan membawa Dinar ke dalam pelukannya.
***
Yah, nggak jadi cerai .... 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Penghulu (TAMAT)
RomanceDinar anak dai kondang di kotanya. Ia memiliki kekasih seorang lawyer. Tapi sayang hubungannya tak direstui oleh sang ayah karena perbedaan agama. Sang ayah malah menjodohkan dengan pria lain pilihan ayahnya, yang berprofesi sebagai penghulu.