65

9.7K 975 22
                                    

Setelah berhasil keluar dari kamar Kia, Dinar segera ke dapur mencari Hajjah Hamidah. "Ummi, Dinar pamit pulang."

Hajjah Hamidah kaget melihat putrinya tiba-tiba pamit pulang, apa tidak sabar untuk melanjutkan yang tertunda? Mengangkat jemuran maksudnya ....

"Lho, kok pulang? Kirain menginap?" Hajjah Hamidah tampak kecewa. Padahal ini hari Sabtu, tak masalah juga kalau anak dan menantunya itu menginap barang semalam.

"Lain kali aja, ya, Ummi." Dinar mencium tangan Hajjah Hamidah dengan cepat.

Ia bergegas ke ruang tamu, tampak Azzam yang sedang asyik makan gehu dengan watados (wajah tanpa dosa) andalannya. Dinar segera menarik tangan Azzam. "Ayo pulang."

Azzam kaget, ia tiba-tiba ditarik berdiri sebelum sempat meraih gelas untuk minum. Tenggorokannya terasa sangat seret.

"Biar suami kamu minum dulu, Dinar. Kasihan itu mukanya merah, kayaknya tersedak," lerai Hajjah Hamidah.

"Nanti aja, Ummi." Dinar mengabaikan ucapan Hajjah Hamidah, ia hanya ingin secepatnya keluar dari ruangan ini.

"Apa nggak mau bungkus gehu? Lumayan buat cemilan di rumah." Hajjah Hamidah bergegas ke dapur untuk mengambil kertas minyak.

"Nggak usah, Ummi. Dinar buru-buru." Dinar segera menarik Azzam ke atas motornya.

Hajjah Hamidah hanya menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya. "Buru-buru banget mau ngapain, sih?"

***

Dalam perjalanan, Dinar tak bisa lagi menahan emosinya, ia melampiaskan dengan menggigit pundak Azzam.

"Aduh, Dinar! Kamu kenapa?" tanya Azzam seraya menepikan motornya.

"Aku kesel sama kamu. Kenapa? Nggak boleh?" Dinar berkata dengan nada tinggi. Membuat Azzam heran. Perasaan tadi masih baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi galak seperti Godzilla?

"Saya ada salah?" tanya Azzam pasrah.

"Udah, jangan banyak tanya. Buruan lanjut!" Dinar memerintahkan Azzam untuk melanjutkan perjalanan. Ia ingin segera sampai rumah dan menangis sepuasnya.

Azzam hanya menggeleng pelan, ia menuruti perintah istrinya. Azzam berusaha berpikir positif. Barangkali Dinar sedang PMS. Tapi, bukannya jadwalnya masih 13 hari lagi?

Kenapa Azzam bisa hafal? entahlah. Itu masih menjadi misteri. Mengapa suami-suami di dunia ini (termasuk suami author) bisa hafal siklus menstruasi istrinya. Padahal kadang istrinya sendiri lupa.

***

Sesampainya di rumah, Dinar segera masuk kamar, ia mengunci pintunya. Azzam yang hendak masuk untuk mengambil sajadah jadi bingung. "Dinar, kenapa pintunya di kuci segala? Aku mau ambil sajadah, belum sholat Isya."

Tak ada sahutan, Azzam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba pintu terbuka sedikit, tangan Dinar terjulur, melemparkan sajadah dan tak sengaja mengenai wajah Azzam.

"Astaghfirullah, Sholeha sekali istriku." Azzam mengelus dada. Kemudian ia berjalan ke sumur, untuk mengambil air ketuban, eh air wudhu.

Di dalam kamar, Dinar menangis meratapi nasibnya. Mengapa semua wanita yang dekat dengan suaminya high quality semua? Diantara mereka berdua, Kia dan Nurul, hanya Dinar yang paling bawah kualitasnya. Ibarat kurma, ia adalah jenis kurma Madinah, yang harganya 35rb per kilo. Sedang Kia dan Nurul adalah jenis kurma Ajwa dan Sukkari yang terkenal mahal. Dinar minder jika harus bersaing dengan mereka.

Azzam yang telah selesai menunaikan sholat Isya, heran, ketika mendapati pintu kamarnya masih tertutup rapat.

"Dinar, buka pintu. Saya mau tidur." Azzam mengetuk pintu dengan wajah memelas. Padahal percuma saja, toh Dinar tak bisa melihat ekspresinya.

"Kamu tidur di luar, Mas!"

Azzam kaget mendengar teriakan istrinya yang seperti suara Khimar. Ia hanya bisa pasrah, walau tak tau dimana letak salah dan dosanya.

"Baiklah, mana bantalnya? Jangan dilempar, tadi kena muka saya."

Pintu dibuka sedikit, Dinar menjulurkan bantal di tangannya. Azzam segera mendorong pintu, hingga terbuka lebar. Ia merangsek masuk ke dalam.

"Kamu apa-apaan, sih, Mas?" Dinar berkata dengan garang. Ia berusaha mendorong badan Azzam keluar.

"Kamu yang apa-apaan?" Azzam malah berbalik memojokkan tubuh Dinar ke dinding. "Katakan, ada apa sebenarnya?"

Dinar memalingkan muka, enggan menjawab. Dengan gemas Azzam menjepit pipi Dinar menggunakan jarinya. "Jawab, atau saya cium ...."

Mendengar ancaman Azzam, pipi Dinar memerah. "Cium saja kak Kia, atau ustadzah Nurul juga boleh. Terserah kamu!" Dinar berteriak dengan marah. Kemudian ia menangis tersedu-sedu.

"Sst, tenang dulu. Kenapa malah menangis?" Azzam panik melihat istrinya tiba-tiba menangis. Ia berusaha menenangkan Dinar, menggiringnya untuk duduk di ranjang.

"Cup ... Cup ... jangan nangis terus. Saya minta maaf kalau ada salah." Azzam berusaha memeluk Dinar, sambil sesekali mengelus punggungnya. Tapi Dinar menghindar.

"Baiklah, saya ambilkan air putih dulu." Azzam berlalu ke dapur, dan kembali beberapa detik kemudian.

Dinar menerima air minum pemberian Azzam, ia meminumnya seteguk.

"Udah agak baikan?" tanya Azzam sembari mengelus kepala istrinya. Dinar mengangguk pelan.

"Kamu tadi kenapa?" tanya Azzam lagi. Dinar masih diam. Azzam bisa mengerti, mungkin Dinar perlu waktu untuk bicara.

"Ya sudah, besok saja ceritanya. Sekarang kamu istirahat dulu." Azzam menyelimuti kaki Dinar dan bersiap keluar kamar.

"Mas." Dinar meraih tangan Azzam, melarangnya keluar.

Azzam duduk di tepi ranjang, sesekali ia mengaitkan anak rambut Dinar yang berjatuhan ke telinganya. "Mau cerita sekarang?"

Dinar mengangguk. Ia mulai menumpahkan segala keluh kesahnya. "Intinya aku marah sama kamu."

Azzam tersenyum dengan sabar. "Karena?"

"Bisa nggak, sih, kamu 'tuh jadi orang biasa aja? Nggak usah cakep-cakep amat, nggak usah pinter-pinter amat. Biar sepadan sama aku. Biar nggak ada yang naksir kamu. Bisa nggak, sih, mukanya dibuat biasa aja? Nggak usah sok dibikin imut!"

Azzam tersenyum, akhirnya ia bisa mengerti maksud amarah istrinya. "Cemburu lagi? Kali ini sama siapa? Adel?"

Dinar menggeleng. "Kak Kia."

Azzam tertegun mendengar jawaban istrinya. Kia?

***

Hai, Gaes.
Gue berubah pikiran, nih. Cerita ini mau gue selesaikan aja sebelum lebaran. Biar bisa fokus mengejar malam Lailatul Qadar. Kalian juga jangan lupa ngaji, ya. Kalau bisa, baca ceritanya satu part aja, ngajinya satu juz, jangan kebalik 😆

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang