Ekstra part 6

9.1K 793 4
                                    

Setelah memarkir asal mobilnya di halaman rumah, Azzam bergegas turun. Dengan langkah lebar ia memasuki rumahnya, sejak dalam perjalanan pikirannya sudah tidak karuan. Ia berusaha menenangkan diri dengan bersholawat. Kalau tidak bisa-bisa kecelakaan di jalan.

"Loh, kok udah pulang, Mas?" Bik Inah kaget melihat Azzam memasuki rumah dengan tergesa.

Azzam mengabaikan sambutan dari bik Inah. "Mana istri saya, Bik?" Azzam bertanya dengan khawatir.

"Ada, sedang tidur siang di kamar." Bik Inah menjawab cepat.

Azzam merasa janggal dengan jawaban Bik Inah. "Dia nggak papa?"

"Nggak papa. Memangnya harus kenapa, Mas?" Bik Inah malah balik bertanya.

Azzam menghela nafas berat, ia mencoba menenangkan diri. "Terus tadi kenapa nelpon saya, Bik?"

"Eng, anu, Mas. Tadi Mbak Dinar mau dipesankan makanan katanya." Bik Inah menjawab dengan terbata.

Azzam mengusap muka, kemudian memijat tengkuknya. "Cuma minta dipesankan makanan?"

Bik Inah mengangguk dengan takut, ia merasa bingung, apa dirnya telah melakukan kesalahan?

"Bik, bisa nggak, sih ... lain kali kalau nelpon itu jangan sepotong-sepotong? Saya jadi khawatir, Bik. Tadi itu saya sampai ijin pulang, saya pikir ada apa-apa dengan istri saya di rumah." Azzam mencoba memelankan suaranya, agar tidak terkesan memarahi bik Inah. Walau bagaimanapun, bik Inah lebih tua darinya.

"Maaf, Mas. Tadi itu ponsel Mbak Dinar kuotanya habis, jadi kepotong. Sekali lagi maaf, Mas. Saya nggak sengaja." Bik Inah meminta maaf dengan serius.

Azzam menghela nafas lega, untung saja tak ada sesuatu yang terjadi kepada istrinya. "Nggak papa, Bik. Bukan salah Bibik."

Dinar yang sedang tidur siang merasa terganggu dengan suara ribut-ribut di luar. Ia segera turun dari kasur, menuju ke ruang tengah.

"Loh, Mas? Kamu kok udah balik?" Dinar heran melihat Azzam yang sudah ada di rumah.

"Katanya tadi kamu minta dipesankan makanan?" Azzam malah balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Dinar.

"Iya, Mas. Tiba-tiba pingin makan rujak. Nyuruh Bik Inah nggak ada bahannya. Mau pesan delivery, saldo gopay aku habis. Nelpon ummi, beliau nggak ada di rumah. Terpaksa aku nelpon kamu. Nggak taunya, belum selesai nelpon, kuota aku keburu habis ...." Dinar bercerita panjang lebar.

"Ya Allah, saya kira kenapa. Alhamdulillah, kalau kamu nggak kenapa-kenapa." Azzam mengucap syukur sambil mengusap dada.

"Aku nggak kenapa-kenapa, kok, Mas. Cuma lagi lapar aja." Dinar malah cengengesan, tidak menghiraukan perasaan suaminya yang jungkir balik.

Azzam mengerutkan dahi mendengar ucapan istrinya. "Lapar? Memangnya kamu belum makan siang?"

Dinar menggeleng sambil membuat tanda victori dengan jarinya. Azzam hanya bisa menggeleng pelan.

"Mbak Dinar nggak mau makan sejak tadi pagi, Mas." Bik Inah mengadu.

"Tadi sarapan susu sama kurma, kok, Mas." Dinar membela diri.

"Bik Inah nggak masak?" tanya Azzam kepada bik Inah.

"Masak, kok, Mas. Tapi Mbak Dinar bilang, dia nggak selera makan." Bik Inah menjawab sambil menunduk.

Azzam menyentil dahi Dinar pelan. Kesal sekaligus gemas. Selama hamil, Dinar memang jarang muntah. Tapi ada-ada saja keinginannya. Kalau sudah tersedia, hanya dicicip sesuap dua suap, lalu dibiarkan. Benar-benar menguji kesabaran.

"Jadi nggak enak, karena udah ninggalin kerjaan." Azzam berujar sambil memeriksa arlojinya.

"Kan ada hikmahnya, Mas. Kamu bisa pulang cepat. Jadi kita bisa jalan sekarang juga." Dinar berkata dengan riang sambil menggelendot manja. Tidak malu walau ada bik Inah di dekatnya. Justru bik Inah yang malu. Perempuan tua itu segera undur diri ke dapur.

"Nggak boleh gitu. Saya ini PNS, kerja dibayar pakai uang rakyat. Itu namanya nggak amanah."

Dinar mencibir perkataan Azzam sambil memalingkan muka. Walau begitu Azzam bisa melihat ekspresinya di pantulan kaca lemari.

"Dinar ...." Azzam memperingatkan istrinya yang sedang mencibirnya dengan mulut miring-miring.

"Iya, Pak, Ustadz." Dinar malu karena ketahuan.

"Tidur saja dulu. Nggak enak kalau kita jalan-jalan, sementara tadi saya ijin pulang karena alasan ada urusan mendadak." Azzam menyuruh Dinar melanjutkan tidur siangnya.

"Takut dipergoki atasan, ya?" ledek Dinar.

"Lebih takut kepada Allah, daripada kepada atasan." Azzam menjawab dengan bijak.

Akhirnya Azzam dan Dinar makan masakan bik Inah untuk makan siang, daripada masakan bik Inah mubasir. Dengan senang bik Inah menghidangkan masakannya.

"Kenapa makan cuma sedikit? Bukanya kamu sendiri yang minta dimasakkan makanan ini?" Azzam menegur istrinya yang makan dengan ogah-ogahan.

"Malas makan, Mas ...." Dinar kembali meletakkan sendoknya.

"Makan sedikit saja. Kasihan anak kita." Azzam mengingatkan istrinya. Ia mengambil alih sendok Dinar, kemudian bersiap menyuapinya.

"Aaaa ...."

Bik Inah tersipu malu melihat adegan romantis itu. Bik Inah lupa kapan terakhir kali disuapi suaminya, maklumlah bik Inah telah lama menjanda. Suaminya kabur bersama janda kampung sebelah.

"Kurangin nasinya, Mas. Mulut aku 'kan kecil!" Dinar merajuk sambil mengunyah nasi dari Azzam.

Dengan telaten Azzam menyuapi istrinya yang seperti balita. Sekali-kali ia juga menyuapi dirinya sendiri. Ia sendiri lapar, belum makan siang.

"Kalau disuapi kamu, rasanya jadi lain, Mas. Lebih enak." Dinar bicara sambil makan. Sungguh tidak beradab, hehe ....

"Lain darimana? Memang tangan saya mengandung MSG?" Azzam tersenyum melihat ulah istrinya.

Karena ketelatenan Azzam, tidak terasa Dinar sudah menghabiskan nasi satu piring. Dinar sendiri sampai heran.

"Kayaknya mulai sekarang saya harus  menyuapi kamu makan," sindir Azzam sambil mengelap mulut Dinar menggunakan tissue.

"Ide bagus." Dinar malah tertawa senang sambil mengggelendot manja di lengan Azzam.

"Jangan begitu. Bagaimana kalau saya pulang malam?" Azzam mengacak rambut Dinar dengan gemas. Bik Inah yang hendak mendekat untuk membereskan meja makan, jadi mundur lagi. Takut mengganggu majikannya yang sedang bermesraan.

"Pindah kamar sana, nggak enak dilihat bik Inah." Azzam melepaskan tangan Dinar yang dari tadi membelit lengannya.

Azzam berdiri, berniat masuk kamar untuk mandi. Dari tadi badannya terasa gerah kerena ditempeli Dinar terus.

"Mas, mau kemana?" Dinar merengek manja. Membuat Azzam geleng-geleng kepala. Risih juga kalau didengar bik Inah. Kasihan bik Inah yang janda, nanti dia bisa baper.

"Mau ke kamar. Mau mandi, terus istirahat." Azzam menjelaskan dengan sabar.

"Gendong!" Dinar membuka tangannya, minta diangkut sekalian.

"Ya Allah, ada-ada saja."

***

Turuti aja pak Ustadz, kalau berat bisa digelindingkan seperti bola bowling hehe ....



Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang