20

15.8K 1.4K 6
                                    

Pagi harinya Dinar bangun lebih dulu. Tak biasanya Azzam bangun terlambat. Azan subuh sudah berkumandang lima menit yang lalu. Mungkin dia kecapekan setelah bekerja keras, pikir Dinar.

Dinar menyingkirkan tangan Azzam yang melingkari perutnya, ia ingin ke kamar mandi. Bukannya melepaskan, justru Azzam makin mempererat pelukannya. Wajah Dinar memerah karena malu.

"Mas, bangun. Udah subuh." Dinar menepuk punggung tangan Azzam di atas perutnya.

Bukannya bangun, pria itu malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Dinar, memeluknya dari belakang.

"Lepasin dulu, aku mau sholat."

Akhirnya Azzam melepaskan istrinya, ia menyusul Dinar ke kamar mandi.

"Kok kamu ikut masuk, Mas?"

"Sekalian aja, untuk mempersingkat waktu." Dengan santainya Azzam melepas kaosnya.

"Tapi ...."

"Sunnah, dulu Rasulullah dan istrinya Siti Aisyah juga mandi bersama."

Dinar masih ragu, ia hanya diam. Ketika Azzam mulai membuka celana dia malah berlari ke luar kamar mandi.

"Dia kenapa, sih?" Azzam menggelengkan kepala, heran dengan tingkah Dinar yang sangat lucu di matanya.

***

Setelah mandi Dinar memasak untuk sarapan. Tiba-tiba Azzam menghampiri dan memeluknya dari belakang.

"Masak apa, sih? Kayak serius banget."

"Masak nasi goreng aja. Tuh pakai bumbu instan." Dinar menunjuk bungkusnya.

Azzam makin mempererat pelukannya, sudah begitu dagunya diletakkan di pundak Dinar. Kan jadi makin berat. Dinar merasa risih karena belum terbiasa dengan kebiasaan baru suaminya.

"Mas, ambilin piring."

Dinar sengaja menyuruh Azzam agar ia bisa terbebas dari belitan suaminya, dikira suaminya piton apa?

Setelah mengambil piring Azzam kembali lagi ke posisi semula, Dinar menghela nafas. Sejak kejadian semalam Azzam jadi suka nempel-nempel tak jelas seperti ini.

"Mas, kamu tunggu sana dulu."

Azzam tak menghiraukan ucapan istrinya, dirinya malah sibuk mengendus-endus leher Dinar.

"Kalau kamu gini terus, aku nggak selesai-selesai masaknya."

"Ya udah, masak aja. Aku 'kan cuma bantuin," kata Azzam cuek.

Bantuin apanya? Malah bikin ribet ini, sih! Dinar baru tau sisi lain Azzam yang manja dan kang nyosor. Dipikir pria alim seperti Azzam tidak punya hawa nafsu apa? Dinar tertawa dalam hati.

"Sana nggak!"

Dinar mengancam Azzam dengan memegang sebuah pisau. Udah kayak sikopet ini sih.

Azzam bersungut-sungut menuju meja makan. Ia menunggu di sana sambil mengawasi Dinar yang sedang sibuk memasak. Sejak peristiwa semalam ia jadi makin cinta kepada istrinya.

***

Setelah sarapan Dinar segera menyapu lantai, ia sengaja. Kalau terlihat menganggur sebentar pasti Azzam akan menempel padanya lagi.

"Mas, kamu nggak kerja?"

Dinar heran melihat suaminya malah asyik santai-santai membaca koran. Padahal sudah jam setengah delapan.

"Tanggal merah."

"Oh."

Dinar melanjutkan menyapu, seharusnya ia merasa senang karena seharian ini suaminya akan berada di rumah. Tapi kenapa ia malah merasa canggung, sih?

"Mas, kamu nggak mau pergi ke mana gitu?"

"Kenapa? Kesannya kamu nggak seneng aku ada di rumah?" tanya Azzam keheranan. Ia merasa diusir oleh istrinya sendiri.

"Nggak gitu, kan biasanya kamu sibuk kemana gitu, ke ponpes kek, kemana kek ...."

"Ntar kalau aku ke ponpes kamu cemburu, dikira mau ketemuan sama ustadzah Nurul." Azzam malah meledek istrinya.

"Ya udah, kalau kamu emang mau pergi ya pergi aja." Dinar cemberut karena mendengar nama ustadzah Nurul disebut.

"Beneran, nggak papa, nih?"

"Terserah." Dinar melanjutkan menyapu lantai, padahal lantai itu sudah bersih dari tadi.

Azzam tertawa pelan, kalau perempuan bilang begitu artinya jangan pergi. Tau sendiri perempuan kalau bicara lain di mulut, lain di hati.

"Nggak ah, malas. Aku maunya di rumah aja, nemenin kamu. Nanti kalau aku pergi, kamu marah lagi."

"Udah, sana pergi!" Mata Dinar berkaca-kaca, tuh kan bener? Azzam kangen sama ustadzah Nurul, baru nggak ketemu sehari aja.

"Kok malah ngusir? Kalau aku pergi nanti nangis?" Azzam menggoda Dinar. Tawanya terhenti saat melihat Dinar benar-benar menangis. Lah, kok jadi nangis beneran, inilah resikonya menikahi bocil.

"Sst, diam. Kenapa jadi ada acara nangis gini, sih? Aku bercanda aja loh." Azzam mengelus kepala istrinya.

"Emang kamu jahat." Dinar merajuk, semakin dibujuk dia semakin menangis.

"Ganti baju sana. Kita nonton, yuk? Waktu itu 'kan nggak jadi?"

"Beneran ini?"

"Iya, pokoknya seharian nanti kita jalan-jalan. Kebetulan bonus aku baru cair."

"Yes, asyik!" Dinar melempar sapunya dan bersiap ganti baju. Azzam melongo melihat tingkah istrinya.

"Bisa gitu ya, cepat banget berubah moodnya."

***

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang