32

11.4K 1.1K 1
                                    

"Mau ke mana?"

Azzam melihat Dinar dan Adel yang hendak pergi menggunakan motor matic. Motor itu biasanya digunakan asisten rumah tangga Haji Arifin untuk belanja ke pasar.

"Mau jalan sama Adel, mau beli jajanan pasar. Mas mau nitip?" Dinar menawarkan, sekaligus pamitan.

"Saya boleh ikut?" tanya Azzam.

"Hah? Buat apa?"

"Biar dia ikut, Din. Sekalian Ummi titip belanjaan, biar dia yang bawa." Ummi menyahut dari dapur.

Dinar mendengus kesal. Gara-gara ustadz Azzam ikut, kini mereka bertiga jadi jalan kaki ke pasar. Memang jaraknya tidak terlalu jauh sih, paling sepuluh menit dari rumah.

***

"Din, ustadz Fahri suka jogging juga nggak?" tanya Adel.

"Nggak tau, besok gue tanya deh."

Dinar menjawab seadanya. Sedangkan wajah Azzam berubah masam, terbayang besok Dinar akan menanyakan hal itu pada Fahri. Terus mereka berdua berbicara panjang lebar membahas hobi masing-masing. Azzam sendiri heran, kenapa akhir-akhir ini sering was-was, semacam takut kehilangan istrinya.

"Kalau dilihat dari postur tubuhnya kayaknya dia suka olahraga. Badannya bagus, ya?" tanya Adel sambil cekikikan.

"Mana gue tau. Gue 'kan nggak pernah lama liat dia." Dinar berkilah, ia melirik ke arah Azzam.

"Alah, lo 'kan punya mata juga?" Adel masih saja membahas masalah krusial itu. Dasar sahabat yang tidak peka, maki Dinar di dalam hati.

"Iya, bagus." Dinar mengiyakan pada akhirnya. Daripada Adel terus membahas tentang bentuk tubuh ustadz Fahri di depan Azzam.

"Ehem." Azzam sengaja berdehem. Ia kesal karena Dinar memuji fisik laki-laki lain, di depan matanya lagi!

"Mas, aku mau nyari jajanan sama Adel. Kamu ke tempat ikan dulu, ya? Belikan titipan Ummi, ikan gurame sekilo." Dinar sengaja menyuruh Azzam ke kios ikan, ia merasa tak nyaman berbicara dengan Adel karena ada Azzam.

"Barengan aja. Saya 'kan nggak bisa milih ikan." Azzam menolak.

"Aku juga nggak tau, Mas. Tanya aja sama penjualnya."

"Kamu gimana, sih, Din? Kalau tanya penjualnya pasti dibilang bagus semua lah," bantah Azzam.

Adel hanya diam mendengar perdebatan pasangan suami istri itu. Nggak di rumah, nggak di pasar, debat melulu.

"Ya udah, ayo ke tempat ikan dulu." Dengan kesal Dinar meninggalkan Azzam berjalan di belakang.

Ketika mereka sedang asyik mengaudisi ikan ....

"Assalamualaikum."

Tiba-tiba seorang pemuda tampan yang sejak tadi dibicarakan Adel muncul.

"Waalaikum salam." Mereka bertiga menjawab bersamaan. Begitupun penjual ikan. Menjawab salam wajib hukumnya.

"Ustadz Fahri? Kok bisa ada di pasar? Ngikutin Adel, ya?" tanya Adel girang.

Sementara Dinar hanya bisa menyembunyikan wajahnya di balik dompet, malu.

Fahri hanya tersenyum ramah, "Eh, itu ... Saya mau beli buah."

Fahri menunjuk kios buah yang letaknya tak seberapa jauh dari kios ikan. Saat ini ustadz Fahri hanya mengenakan kaos santai dan celana training, sepertinya habis berjoging.

"Adel, apaan, sih, lo? Jangan kayak gitu, nanti ustadz Fahri takut." Dinar mencubit pinggang Adel sambil berbisik.

"Kamu ikut juga, Zam?" Ustadz Fahri menyapa Azzam yang notabene  adik kelasnya dulu. Azzam mengangguk sopan.

Menikah dengan Penghulu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang