##Bab 36 Kamu Hanya Bisa Menjadi Milikku

2K 138 1
                                    

Kata-kata ini seperti petir di langit biru yang langsung menyambarku di tempat.

Candra, dia bahkan mengatakan bahwa aku memiliki penyakit kelamin.

Tangan dan kakiku hingga gigiku juga ikut bergemetar, setiap sel dan saraf di tubuhku bergemetar. Candra telah pergi, dia berjalan masuk lift dengan cepat dan aku seperti orang gila yang bergegas pergi melewati Tuan Muda Kelima.

Pintu lift hampir tertutup, aku bergegas masuk dan menyerbu ke arah Candra.

Aku sudah gila, ucapan acuh tak acuh Candra yang mengatakan aku memiliki penyakit kelamin, telah sepenuhnya menjatuhkan martabatku. Dia seakan mendorong tubuhku yang bersih ini ke neraka.

Aku menyerangnya dan meraih kerah kemeja abu-abu Candra dengan kedua tanganku. Seluruh tubuhku bergemetar, air mata mengalir keluar. Aku menarik kemejanya dengan erat, "Candra, Kenapa kamu bisa memfitnahku seperti ini? Bagaimanapun juga aku pernah menjadi istrimu!"

Aku berteriak histeris, darah di jantungku bergejolak hebat.

Candra mengangkat lengannya dengan perlahan dan meraih tanganku. Dia berbalik dan menekanku ke dinding lift, matanya memancarkan aura dingin, "Yuwita."

Dia memanggilku dengan nama lamaku, "Tubuhmu hanya bisa menjadi milikku. Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk berbaring di bawah tubuh pria lain."

"Dasar keparat!"

Aku melambaikan satu tanganku dan memberinya tamparan keras.

Atas dasar apa? Dia bisa berselingkuh dengan cinta pertamanya dalam pernikahannya denganku dan memiliki anak dengan cinta pertamanya. Namun, aku yang sudah bercerai tidak boleh berhubungan dengan pria lain. Siapa yang memberinya kemampuan yang begitu mendominasi? Atas dasar apa dia memperlakukanku seperti ini?

Aku mengangkat tanganku lagi dan tamparan kedua hendak mendarat di wajahnya, tapi Candra meraih tangan yang aku angkat pada waktu yang tepat. Dia menjulurkan kepalanya, tiba-tiba bibirnya yang hangat mencium bibirku.

Aku sangat sedih, tubuhku hampir jatuh tak terkendali, tapi sepasang mataku masih menatap terus memelototinya dengan marah. Candra, aku membencimu. Dalam hidup ini, orang yang paling aku benci adalah kamu.

Saat ini, tangan besar Candra menopang pinggangku, dia membungkukkan tubuhnya yang tinggi, menekanku ke dinding lift dan menciumku dengan kuat.

Dia seakan kesepian selama bertahun-tahun, kerinduan selama bertahun-tahun, penantian bertahun-tahun. Dia menciumku tanpa memedulikan apa pun.

Lift telah berhenti. Pintu lift terbuka dan orang yang akan turun ke lantai bawah hendak masuk ke dalam lift, tapi tiba-tiba orang itu melihat pemandangan di dalam lift. Kemudian matanya terbelalak kaget dan mulutnya menganga hingga membentuk huruf O dengan satu kaki yang terangkat. Dia tidak tahu apakah harus melangkah masuk atau mundur.

Tentu saja, pada akhirnya orang itu tetap tidak masuk. Situasi seperti ini sangat canggung untuk pihak ketiga, bukan? Meski seharusnya kami yang memalukan, tapi di ruang kecil dan sempit seperti ini, bisa dengan tenang menyaksikan pasangan berciuman dengan mesra bukanlah sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh orang biasa.

Pintu lift tertutup dan lift terus turun. Saat lift kembali terbuka sudah berada di lantai dasar. Bibir Candra masih menempel di bibirku, sedangkan wajahku sudah penuh dengan air mata. Dia memegang wajahku dengan telapak tangannya yang hangat dan menatapku sejenak, tatapan membara di matanya telah menghilang. Dia melepaskanku dan membiarkan tubuhku bersandar lemas di dinding lift. Dia merapikan pakaiannya, lalu berbalik dan berjalan keluar dari lift.

Aku membiarkan dia pergi begitu saja. Seharusnya aku mengambil pisau dan menusuk jantungnya seratus kali. Bukankah seharusnya aku menusuknya sampai mati?

Kelembutan yang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang