Tuan Muda Kelima membuka pintu. Dia mengenakan pakaian rumah kotak-kotak. Dia menunjukkan ekspresi malas di wajahnya, tapi juga ada ekspresi cemberut di wajahnya. Tuan muda ini mungkin masih ingat adegan aku mendorongnya turun dari ranjang tadi malam.
"Aku lapar, ayo masak."
Tuan Muda Kelima berbalik dan masuk ke kamar dengan wajah masam.
Aku berdiri di pintu dengan kruk, "Mau makan apa?"
"Mi."
"Oh."
Aku berbalik untuk membeli bahan-bahan. Dalam ingatanku, rumah tuan muda tidak pernah memiliki bahan makanan.
Tuan Muda Kelima melihat aku hendak pergi, dia menambahkan, "Semuanya sudah dibeli."
Aku menoleh ke belakang dan melihat ekspresinya masih masam. Sungguh disayangkan wajahnya yang sangat tampan itu terus-menerus cemberut.
Aku pergi ke dapurnya dengan kruk dan kakiku sangat tidak lincah. Setelah memilah dan mencuci, aku memotong bahan-bahannya. Tentu saja, ketika aku melakukan pekerjaan ini, aku tidak mungkin menggunakan kruk. Aku berdiri menggunakan satu kakiku, bahkan saat memasak sup juga seperti itu. Kerja keras itu dapat dibayangkan.
Tuan Muda Kelima berdiri di pintu dapur, bersandar pada pintu dengan bahunya yang lebar sambil memperhatikanku sibuk dan memikirkan sesuatu.
Saat mi sudah siap, aku bersusah payah mengeluarkan kuah mi. Alasan kenapa aku bersusah payah karena aku harus memegang garpu dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang mangkuk. Hanya aku yang tahu seberapa lelah kakiku. Aku bahkan tidak bisa berdiri tegak lagi.
Melihat kakiku yang lelah dan gemetar, Tuan Muda Kelima datang, lalu mengambil mangkuk dari tanganku dan mengambil sayuran yang sudah disiapkan.
Aku mengangkat tanganku untuk menyeka keringat tipis dari dahiku dan bergumam di dalam hatiku, 'Aku berhutang budi pada tuan muda ini. Kalau tidak, membunuhku pun aku tidak akan memasak makanan yang melelahkan dengan kakiku yang tidak bisa berdiri normal.
Harus diketahui Tuan Muda Kelima sangat pemilih. Setiap kali dia makan makanan yang aku buat, dia tidak akan pernah lupa untuk menghinaku.
Hal ini juga yang memberiku tekanan yang tidak terlihat agar aku bisa memasak makanan lebih enak.
Meskipun selera tuan mudanya benar-benar rumit.
Tuan Muda Kelima duduk di depan meja makan, lalu memasukkan beberapa hidangan ke dalam sup mi. Setelah itu, dia menyendok dan makan beberapa suap, alisnya mengernyit semakin kuat.
"Benar-benar semakin sulit dimakan, seperti makan kayu."
Sudut mulutku berkedut. Selera tuan muda ini bukan yang paling rumit, tapi semakin rumit. Mie yang aku buat dengan bersusah payah, dia bahkan mengatakan seperti makan kayu.
Meskipun hatiku merasa tidak puas, aku berutang kepada tuan muda ini. Tidak peduli seberapa tidak puas, aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya bisa diam-diam memelototinya dengan mata yang tajam bagaikan pisau.
"Lumayanlah. Siapa suruh ibuku sangat cepat mati. Seumur hidup, aku tidak akan bisa makan mi buatan ibuku lagi."
Tuan muda ini merendahkanku sambil makan dengan nikmat. Dengan cepat, semangkuk besar mi dengan beberapa hidangan pelengkap masuk ke dalam perutnya.
Dia menyampingkan mangkuk dan garpu, lalu bangkit dan pergi ke ruang tamu seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Setelah dihina olehnya, aku mengatup bibirku sambil membantunya membersihkan piring dengan enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelembutan yang Asing
RomanceSuamiku berselingkuh, empat tahun kemudian aku baru mengetahui semua kebahagiaan ini hanyalah omong kosong belaka. Saat darurat, suamiku melindungi wanita itu dan anaknya. Sementara aku dijebloskan ke dalam penjara. Dua tahun kemudian, aku yang tida...