##Bab 30 Antara Cinta dan Benci

2.1K 137 3
                                    

Aku berjalan mendekat, lalu mengambil kontrak yang diserahkan oleh pria itu dan menuliskan namaku di atasnya.

Aku tidak pernah membayangkan masalah ini akan terselesaikan dengan mudah. Kami naik taksi ke bank untuk menarik uang tunai 20 juta, kemudian pergi bersama ke notaris. Setelah perjalanan kurang dari dua jam, sertifikat rumah sudah berubah menjadi namaku.

"Jika bisa memutar kembali waktu" mengambil uang 20 juta yang aku bayar kepadanya, lalu pergi tanpa menoleh ke belakang, dia sedikit pun tidak bernostalgia dengan tempat itu.

Ketika dia pergi, aku berkata kepadanya, "Kalau suatu hari kamu menyesalinya dan ingin membeli kembali ruko itu dengan harga 20 juta, aku tidak akan menyalahkanmu."

"Jika bisa memutar kembali waktu" hanya tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sementara aku tidak merasa gembira mendapatkan durian runtuh seperti ini, hatiku malah terasa berat. Karena dunia ini ada orang sepertiku yang perasaannya telah dikhianati.

Setelah meninggalkan departemen manajemen perumahan, aku pergi ke rumah sakit. Cindy sudah jauh lebih baik dan besok dia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Aku memintanya untuk tinggal di rumah sakit selama beberapa hari lagi untuk observasi. Dia berkata ada terlalu banyak pekerjaan yang menunggunya untuk diselesaikan. Dia akan memperhatikan kesehatannya.

Aku tahu tidak ada gunanya menghentikannya, jadi aku memesankan padanya untuk tidak lupa makan dan tidur seperti sebelumnya. Saat perjamuan tidak boleh minum terlalu banyak anggur. Sekarang menukar hidup dengan uang, saat tua berbalik menjadi menukar uang untuk hidup. Cindy menyetujuinya sambil tersenyum.

Aku mengeluarkan sertifikat rumah dari tasku dan memainkannya di depan Cindy, "Coba tebak, apa ini?"

Mata Cindy berbinar, "Apa? Sertifikat rumah?"

"Betul!"

Aku tersenyum dan menyodorkan sertifikat rumah ke tangannya, "Nah, aku baru saja mendapatkannya."

Cindy memegang sertifikat rumah dengan mata terbelalak. Dia bertanya dengan tidak percaya, "Bagaimana kamu punya uang untuk membeli rumah?"

Aku mengerucutkan bibir dan tersenyum, "Bagaimana mungkin aku punya uang untuk membelinya? Ada cerita di dalamnya. Aku baru saja mendapatkan keuntungan besar."

Aku memberi tahu Cindy tentang proses pembelian rumah ini. Cindy mendengarkan dengan saksama. Untuk sementara waktu, Cindy tidak habis pikir "jika bisa memutar kembali waktu" menjual rumahnya dengan harga 20 juta. Cindy merasa iba pada pria yang bahkan tidak punya kesempatan untuk menanyakan istrinya, dia sekaligus juga tidak habis pikir.

"Clara, aku tidak bermimpi, 'kan? Kamu benar-benar membeli rumah itu dengan harga 20 juta? Cepat cubit aku."

Cindy mengulurkan tangannya yang ramping, seolah-olah dia sedang bermimpi.

Aku tertawa. Sejujurnya aku juga masih linglung. Aku membeli ruko yang harganya ratusan juta dengan harga 20 juta. Jika bukan karena cerita pria itu yang membuatku merasa iba, aku tidak akan percaya ini adalah kenyataan.

Jika aku adalah "jika bisa memutar kembali waktu", aku juga akan melakukan hal yang sama. Jika barang itu terjual dengan harga mahal, itu sama saja dengan menyanjungnya. Pria itu benar, dia tidak sepadan dengan harga 20 juta.

Ketika aku di penjara, aku masih mengenakan cincin kawinku dengan Candra. Aku langsung membuangnya ke saluran pembuangan. Jika aku masih menyimpan sesuatu yang dia berikan kepadaku, tanpa berpikir panjang aku akan langsung membuangnya, bahkan barang itu sangat mahal sekalipun.

Sama seperti ketika aku memberikan anakku pada orang lain hanya karena tubuhnya mengalir darah lelaki bajingan itu.

Teringat akan putraku, ekspresiku menjadi masam lagi.

Nak, ibuku bersalah padamu. Ibu telah menyesalinya. Jika waktu bisa berputar kembali, Ibu tidak akan pernah memberikanmu pada yang lain.

Di malam hari, Dean datang, dia masih tinggal untuk menemani Cindy. Aku meninggalkan rumah sakit. Hanya saja aku tidak kembali ke apartemen, tapi datang ke supermarket lagi. Aku berharap masih mempunyai kesempatan untuk melihat anakku lagi.

Aku mencari ibu dan anak di supermarket dengan saksama. Di dalam supermarket tetap tidak ada tanda-tanda mereka. Aku datang ke sudut jalan tempat aku melihat anakku hari itu. pada malam hari, hanya ada sosokku yang kesepian dan tak berdaya dan orang-orang yang lewat dengan tergesa-gesa.

Aku berdiri di sana dalam waktu lama sehingga aku ingin menangis. Nak, ibu merindukanmu. Kamu ada di mana?

Aku tidak tahu kapan hujan deras turun. Aku yang tidak siap sedikit pun terguyur hujan hingga hatiku ikut merasa dingin. Aku mulai panik mencari perlindungan dari hujan. Saat ini, supermarket sudah tutup. Bahkan tidak ada taksi di jalan, pejalan kaki juga sangat sedikit. Aku menutupi kepalaku seperti lalat tanpa kepala yang asal menabrak.

Aku menabrak ke dalam pelukan seseorang.

Aku merasakan tidak ada lagi air hujan yang jatuh di atas kepalaku. Aku melihat ke atas. Dalam cahaya redup, aku melihat mata yang familier.

Candra, kami bertemu lagi.

Dia memegang payung bermotif kotak yang berwarna biru tua. Di bawah payung adalah wajahnya yang tampan dan dingin. Sementara saat ini aku bahkan berada di bawah payungnya dan menikmati perlindungannya.

Pada saat itu, aku menatap lekat-lekat wajah yang aku kenal ini. Pemandangan bertahun-tahun yang lalu muncul di depan mataku seperti cahaya dan bayangan. Ketika aku pertama kali bekerja di firma hukum, aku tidak membawa payung dan hujan turun dengan deras. Aku berdiri di depan firma hukum sambil memandangi jalan luas di hadapanku dengan tubuh yang menggigil kedinginan.

Candra yang memegang payung bermitof kotak yang berwarna biru tua menghampiriku. Dia melewati genangan air yang menggenangi betisnya. Tubuh dengan tinggi 1,83 meter dan air telah menggenangi betisnya, air itu berarti telah mencapai lututku.

Melihat sosok yang familier dan akrab itu, air mataku langsung turun, aku menangis sambil berteriak, "Candra, aku di sini."

Candra berjalan ke arahku. Dia menyerahkan payung di tangannya, kemudian membungkuk dengan punggung menghadapku, "Naiklah."

Aku bahagia, aku naik ke punggungnya sambil menangis dan tertawa.

Aku memegang erat payung yang terasa berat di tengah hujan lebat. Aku melingkarkan lenganku di lehernya sambil tertawa dan meneteskan air mata, "Candra, kamu baik sekali. Aku pikir aku tidak bisa pulang."

Pada hari itu, seharusnya Candra pergi ke Kota Canis untuk perjalanan bisnis. Candra berkata dia tidak pergi karena sebelum pergi dia melihat ramalan cuaca akan ada hujan lebat. Karena aku takut tidur sendirian.

Tentu saja, pada saat itu, aku tidak tahu niat sebenarnya dari perjalanan bisnisnya ke Kota Canis. Aku sangat tersentuh. Sepanjang jalan aku menangis hingga rambut dan kerah pakaian Candra ternoda oleh air mata dan ingusku.

Aku pikir tidak akan ada orang lain lagi yang memperlakukanku sebaik ini, selain Cindy.

"Sudah larut, kenapa kamu tidak pulang?" Mata Candra terlihat dalam dan rumit. Dia menatapku dengan cemas. Payung bermotif kotak yang pernah membuatku merasa berat di tengah hujan lebat, saat ini dipegang erat di tangannya.

Aku tidak tahu Candra kapan muncul di sini, apakah dia kebetulan lewat? Ataukah dia sudah lama berdiri di sini untuk menungguku untuk menabraknya?

Di mataku mulai muncul percikan kemarahan. Aku bahkan berpayung bersama dengan bajingan ini. Aku menggunakan payung bajingan ini. Aku membenci diriku sendiri karena berdiri di bawah payung bersamanya begitu lama dan masih mengingat masa lalu.

Tiba-tiba aku mundur selangkah, hujan deras kembali mengguyur wajahku. Aku tidak tahu apakah itu hujan atau air mata, seketika pandanganku menjadi kabur. Aku kedinginan hingga bibirku bergemetar, tapi aku masih mendengar suaraku yang sambil menggertakkan gigi, "Maaf."

Aku berbalik dan berlari ke dalam hujan lebat.

Kelembutan yang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang