Aku menatap pria yang tampak jujur dan agak kasar ini dengan kaget. Dia melalui masa kecil yang menyedihkan. Lalu, bagaimana anak sepuluh tahun bisa menjalani hidup? Apakah seperti rumput liar yang diterpa oleh angin dan hujan, tapi masih tumbuh dengan kuat?
Melihat aku menatapnya, Hendra menyunggingkan bibirnya dan tersenyum, wajahnya sangat lembut, "Kamu tidak bisa membayangkan kesulitan yang aku derita sejak dulu. Aku saja bisa bertahan dan hidup dengan baik, apa yang kamu takutkan?"
Ya, apa yang aku takutkan? Aku harus kuat. Aku tersenyum malu pada Hendra, aku malu dengan pemikiran yang baru saja terlintas dalam benakku.
Telepon berdering, aku mencari tas tanganku, Hendra menyerahkannya kepadaku. Aku mengeluarkan telepon dan menjawab panggilan itu. Nomor Candra, tapi yang terdengar adalah suara sedih Denis, "Bibi, bukankah hari ini Bibi sudah selesai ujian? Kenapa Bibi tidak datang untuk melihat Denis?"
Aku bisa membayangkan wajah Denis yang menangis dengan mulut yang dicebikkan.
Aku buru-buru berkata, "Bolehkah Bibi pergi besok? Hari ini sudah sangat larut."
Pada saat ini, perawat baru saja masuk sambil membawa dua kotak obat, "Obat ini diminum tiga kali sehari, dua tablet sekaligus, setelah makan."
Hendra bertanya, "Apakah ada tindakan pencegahan?"
Perawat berkata, "Setelah pulang ingat untuk makan tepat waktu, perbanyak nutrisi, lebih banyak makan makanan yang menambah darah. Kondisinya akan membaik secara bertahap."
"Oke, terima kasih."
Hendra sangat sopan.
Namun bocah kecil di telepon tiba-tiba berkata, "Bibi, apakah kamu sakit?"
Bocah kecil itu mendengar percakapan antara perawat dan Hendra, di usianya yang sangat muda dia sudah bisa mengkhawatirkanku.
"Hanya penyakit ringan, besok sudah sembuh," hiburku pada Denis sambil tersenyum.
Namun suara bocah kecil itu digantikan oleh suara Candra, "Ada apa denganmu? Kamu sakit apa?"
"Aku ...."
Suara cemas dan khawatir Candra seketika membuatku tertegun, apakah dia benar-benar peduli padaku?
Namun, ponselku sudah direnggut oleh tangan besar Hendra. Dia berkata kepada Candra dengan dingin, "Sekarang dia tidak enak badan, jadi dia tidak bisa berbicara, selamat tinggal."
Hendra langsung menutup telepon seperti ini.
Aku menatap pria yang baru saja bertanya kepada perawat dengan sopan dan bersahabat. Pada saat ini, seakan ada awan gelap tebal yang menutupi wajahnya.
Ponsel dikembalikan ke tanganku dan dia mengabaikan mataku yang terkejut. Hendra sedang membereskan barang-barang di meja samping ranjang, "Setelah infus, aku akan mengantarmu pulang ke apartemen."
Perawat melepaskan jarum infusku. Aku takut dan mendesis kesakitan. Hendra menoleh dan melirikku. Melihat aku menekan mata jarum dengan kapas, dia dengan cepat berbalik dan berkata, "Aku saja."
Dia mengambil kapas dari tanganku dan menekannya dengan kekuatan yang pas pada lubang jarum di pergelangan tanganku.
Setelah beberapa saat, dia melepaskan kapas itu. Dia memeriksa mata jarum dengan hati-hati. Setelah tidak ada lagi darah yang keluar, dia baru membuang kapas ke tempat sampah.
Sementara aku merasa bingung dengan perilaku Hendra yang tiba-tiba dan tidak biasa ini. Kami tidak memiliki hubungan apa pun. Pemikiran untuk menjalani hubungan bersama juga telah dipadamkan oleh Tuan Muda Kelima. Dia tidak seharusnya peduli padaku. Seharusnya dia tidak memperhatikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelembutan yang Asing
RomanceSuamiku berselingkuh, empat tahun kemudian aku baru mengetahui semua kebahagiaan ini hanyalah omong kosong belaka. Saat darurat, suamiku melindungi wanita itu dan anaknya. Sementara aku dijebloskan ke dalam penjara. Dua tahun kemudian, aku yang tida...