##Bab 154 Bukan Apa-apa

607 80 9
                                    

"Aduh." William tiba-tiba meningkatkan kekuatannya, hingga aku menjerit kesakitan. William berkata, "Tahanlah, kelak akan semakin menyakitkan."

"Kau mengobatiku atau mencari penyakit untukku?" kataku dengan marah.

William, "Tentu saja mengobatimu. Kalau tidak, apakah kamu masih bisa duduk di sini? Mengingat tingkat ketegangan pada tulang belakang lehermu, kamu seharusnya sudah lumpuh sejak lama."

"Kamu ...." Aku benar-benar marah dan kesal karena bocah ini mengutukku seperti itu.

"Hei, aku beri tahu padamu, aku pernah bertemu dengan seseorang yang juga memiliki tahi lalat di belakang telinganya," kata William tiba-tiba.

"Siapa?"

"Aku punya bibi, tapi dia sudah meninggal."

Aku, "..."

"Tok, tok." Ada yang mengetuk pintu. William pergi untuk membuka pintu. Catherine datang kemari. Saat dia melihatku, wajahnya menjadi masam, "Kenapa dia ada di sini? Apa yang kalian lakukan?"

William, "Mengobatinya."

Catherine, "Kamu kurang kerjaan? Lupa siapa dia?"

William, "Pasien, pasien adalah raja. Hanya orang bodoh yang tidak mau mendapatkan uang," katanya sambil meremas bagian belakang leherku dengan kuat.

Catherine marah, tapi adiknya tidak mendengarkannya, jadi dia hanya bisa berdiri di samping dengan wajah dingin sampai William menyelesaikan perawatannya dan pergi ke balkon untuk menjawab telepon. Kemudian, Catherine berkata dengan nada mengancam, "Jangan mengincar adikku, dia tidak akan menikahimu!"

Aku marah hingga terbahak-bahak, "Kak, apa kamu idiot? Kalau tidak, kenapa kamu mengatakan hal-hal aneh seperti itu?"

"Kamu ...." Catherine sangat marah sehingga dia menatapku dengan mata indahnya yang penuh permusuhan, tapi aku malah mengabaikannya dan meninggalkan apartemen William.

Saat kembali ke apartemen, Bibi Lani memberiku sebuah kotak yang dikemas dengan indah, "Nona Clara, ini dari Pak Candra. Dia memintamu memberikannya pada Denis."

"Oke." Aku mengambil kotak itu dan melihat tulisan "Transformer" di atasnya. Aku memasukkan kotak itu ke dalam koper dan hendak memberikannya kepada Denis ketika aku kembali ke Kanada. Pada saat ini, Denis menelepon. Aku menjawabnya, "Bu, aku baru saja berbicara dengan ayah. Ayah sepertinya tidak enak badan. Dia terus batuk. Bu, bisakah kamu menjenguknya? Ayah mungkin sakit ...."

"Oke, Ibu akan menemuinya besok."

Keesokan paginya, aku menelepon Candra, aku bertanya apakah dia sakit? Denis berkata dia terus batuk. Denis sangat mengkhawatirkannya.

Candra, "Aku pilek, tapi tidak serius. Tidak perlu khawatir," ucapnya sambil terbatuk-batuk dengan keras.

"Aku akan segera rapat, aku tutup dulu."

Setelah berbicara, Candra menutup telepon. Aku masih sangat khawatir. Suara batuknya yang keras selalu terngiang di telingaku. Aku sedikit gelisah, jadi aku pergi ke perusahaan Candra.

Kami masih merupakan pasangan suami dan istri. Candra dan aku telah bersama selama lebih dari empat tahun, kami sudah seperti keluarga yang memiliki ikatan darah. Meskipun masa depan tidak diketahui, aku masih ingin melihatnya.

Ketika aku datang ke PT. Sinar Muda, Candra belum selesai rapat. Sekretaris memintaku menunggu di kantornya.

Kali ini adalah pertama kalinya aku datang ke kantornya. Kantornya tidak semewah kantor orang kaya yang pernah aku lihat. Kantor Candra sederhana, elegan dan tenang. Dekorasi ini sejalan dengan kepribadiannya.

Kelembutan yang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang