##Bab 143 Orang Jahat Pasti Panjang Umur

703 76 5
                                    

Namun, ketika aku buru-buru selesai membuat mie dan membawanya keluar dari dapur, aku melihat Tuan Muda Kelima duduk di meja makan dengan tatapan kosong dan semangkuk mie yang aku makan hingga tersisa setengah sudah tiada. Mie itu kosong tidak tersisa sedikit pun.

"Kamu ...."

Melihat apa yang aku maksud, Tuan Muda Kelima berkata dengan ringan, "Aku memakannya."

Sudut mulutku berkedut, mengapa orang ini tidak jijik dengan air liurku?

"Mie kamu sudah matang, makanlah selagi panas."

Aku meletakkan mie yang baru direbus di depannya.

Tuan Muda Kelima menundukkan kepalanya dan terdiam beberapa saat sebelum mulai mengambil mie dengan garpu.

Sebagian besar karena dia tidak enak badan, dia tampaknya tidak memiliki nafsu makan. Dia makan dengan lambat. Selain itu, terkadang dia menundukkan kepalanya dan menatap semangkuk mie dengan linglung.

Tuan Muda Kelima seperti itu, seperti anak yang sakit, hingga orang tua di sebelahnya memandangnya dengan khawatir. Sepertinya aku adalah orang tua itu.

Tuan Muda Kelima tidak menghabiskan mie itu. Dia meletakkan garpu, lalu bangkit dan berjalan kembali ke kamar dengan perlahan.

"Hei, kamu sudah makan masakanku, sudah waktunya membicarakan masalahku, bukan?" teriakku.

Tuan Muda Kelima berbalik dan mengerutkan kening, "Masalah apa?"

Dia malah pura-pura bingung, hingga aku merasa kesal, "Aku minta kamu pilih pengacara baru," kataku dengan lantang.

Tuan Muda Kelima menjawab dengan malas, "Kita bicarakan nanti."

Dia langsung kembali ke kamar tidur. Aku menghentakkan kakiku dengan marah dan tidak ingin berbicara dengannya lagi. Aku mengambil tasku dan berencana untuk pergi, tapi suara Tuan Muda Kelima datang dari kamar tidur lagi, "Buatkan aku makan sebulan dulu, aku akan memikirkannya."

Aku menghela napas lega, pria itu akhirnya menyetujuinya.

Saat aku meninggalkan tempat Tuan Muda Kelima dan kembali ke apartemen Jasmine, sudah jam sepuluh malam. Saat aku hendak memasuki gedung, aku melihat seseorang berjalan dari arah samping, "Yuwita".

Orang itu adalah Candra. Aku melihat wajah jernih yang familier di bawah malam dan berkata dengan acuh tak acuh, "Ada apa?"

Setelah tidak melihatnya selama beberapa hari, dia yang berada di bawah cahaya lampu jalan terlihat lebih kurus. Dia berkata dengan suara rendah dan lembut, "Maaf."

"Kamu tidak melakukan kesalahan, hanya saja kita tidak seharusnya bersama," ucapku dengan sedih sambil menghela napas.

Candra memegang tanganku dengan pelan, "Aku terlalu memercayai Julia. Aku tidak pernah berpikir seorang anak kecil bisa begitu licik. Aku yang tidak mendidiknya dengan baik. Aku tidak pernah berpikir dia akan seperti ibunya. Aku benar-benar kecewa. Yuwita, aku minta maaf padamu. Ini salahku, aku seharusnya tidak terlalu memercayai Julia hingga salah paham padamu, membuat kamu dan Denis menderita."

Nada bicara Candra terdengar tulus dan matanya dalam.

Namun, aku menghela napas pelan, "Candra, kita tenanglah terlebih dulu. Rujuk kembali sudah terburu-buru. Insiden Julia mungkin hanya masalah kecil. Lagi pula, kita bukan lagi kita yang sebelumnya. Kamu sudah memiliki Julia. Kelak, kamu juga tidak mungkin hidup tanpanya. Sedangkan aku lebih suka tidak pernah melihat gadis itu seumur hidupku. Jadi, kita tidak bisa bersama lagi."

Aku tidak ingin mengatakan apa-apa lagi, jadi aku mendorong tangan Candra dan naik ke atas.

Denis sudah pergi ke Kanada bersama Jasmine. Setelah menelepon Denis, aku tertidur. Mobil Candra diparkir di lantai bawah semalaman, ini dikatakan oleh Bibi Lani kepadaku di pagi hari.

Kelembutan yang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang