Hal terakhir

309 7 0
                                    

* * *

" Han .. Hani..."

" Ya-ya,bu ."

" Jadi ... Apakah kau bisa datang kemari ? "

" Am - Ibu.. "

" At-atau Ibu saja yang ke sana? Bagaimana ? Em ? ''

'' Tidak usah, bu. "

" Tidak apa, Nak.
Kamu mungkin tidak sempat. Jadi biar Ibu saja yang ke sana. "

Hani menghela nafas. Sepertinya hal yang sangat penting hingga ibu mendiang suaminya ingin sekali bertemu dengannya. Bahkan jika harus menempuh perjalanan lama sekalipun.

Tapi Hani tak sampai hati dan tak akan membiarkannya .

" Ibu.. Ibu tidak perlu melakukan perjalanan jauh karena Hani yang akan ke sana.
Kebetulan besok Hani libur. "

'' Oh, syukurlah kalau kau bisa. Maaf, jika Ibu terkesan memaksamu , Nak. Tapi ini benar-benar penting bagi Ibu. ''

'' Iya, bu gapapa. Lagipula, Hani juga uda lama gak kesana. ''

'' Baiklah kalau begitu, Ibu tutup dulu. Besok hati-hati dijalan . Asalamualaikum. ''

" Walaikumsalam, bu. "

Sambung nirkabel pun berakhir.

Hani menghempaskan nafas yang menghimpit dada. Sesak rasanya, mengingat dua hal yang terpaksa ia kesampingkan . Tapi ia menyakini diri, jika ini pun urusan yang sama pentingnya untuk didahulukan.

Keesokan harinya.

Suara deru mobil membuat Hardjono terjaga dari lelapnya.

Di liriknya jam yang menggantung di dinding kamarnya. Pukul 6, tak biasanya jalanan depan rumahnya berisik . Hardjono heran.

Hardjono bangun saat samar terdengar suara orang tengah berbincang.

Ia turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka . Setelah itu, iapun keluar untuk mencari tau asal suara yang semakin santer terdengar.

Mata Hardjono melebar, menepati sebuah pick up putih terparkir di halaman rumah dan empat orang asing .

Dua di antaranya adalah laki-laki. Mereka yang sepertinya masih berusia dua puluhan, terlihat bolak-balik mengangkut kardus-kardus dari teras rumah dan meletakkannya ke bagian belakang pickup yang sudah berisi dengan benda serupa.

Sedang dua lainnya yang merupakan perempuan dan sepertinya berusia sepantaran, tengah berbincang dengan Hani.

Melihat Hardjono berjalan mendekati Hani. Seketika, ke empat orang asing tersebut menghentikan pekerjaan mereka sejenak dan menyapa Hardjono sambil menundukkan kepala sekali.

'' Ada apa ini ? Siapa mereka, Han ? '' Tanya Hardjono pada Hani.

'' Mereka dari yayasan amal , Yah. '' Jawab Hani singkat.

'' Yayasan amal ? '' Kening Hardjono mengkerut.

Hani sedikit memutar tubuh dan berhadapan dengan sang ayah.

'' Aku menyumbangkan semua pakaian dan barang-barang almarhum Mas Man untuk diberikan pada orang-orang yang tinggal di tempat kumuh . '' Jelas Hani.

'' ... '' Hardjono terdiam. Setelah sekian lama, baru ini ia mendengar Hani menyebut lelaki yang kini telah menjadi almarhum dengan namanya.

Sebelumnya, tak pernah sekalipun Hani menyebutnya dengan nama. Hani selalu menyebutnya ' suamiku '.

Apa ini berarti Hani benar-benar akan membuka lembaran barunya bersama Danu dan akan melepaskan semua kenangan masa lalunya ?

'' Motornya juga ku jual. Mungkin sebentar lagi, orang yang mau membeli akan datang mengambilnya. ''

Hardjono terperangah. Tak percaya jika si roda dua berwarna biru yang selama lima tahun ini selalu menemani ke manapun Hani pergi , ternyata akan Hani jadikan kenangan pula.

Padahal, alat transportasi yang juga merupakan peninggalan Man, nama panggilan almarhum menantunya itu, adalah benda yang paling Hani jaga dan rawat dengan sangat baik.

'' Ayah. ''

'' Ya, ''

'' Aku minta ijin mau pergi menemui Ibunya Mas Man. Dan mungkin aku akan menginap semalam. Ayah bisakan kutinggal sehari ? "

'' Mau apa kau kesana ? ''

Hani menghela nafas dengan sangat pelan.

'' Aku hanya ingin mengunjunginya, ayah. Karena aku gak tau, apakah nanti aku bisa mengunjunginya lagi atau tidak . ''

'' ... ''

'' Ya, Ayah. Aku tau, aku tak mungkin bisa melupakannya.
Tapi aku harus bisa merelakan dan mengikhlaskan semua hal tentangnya. ''

'' ... '' Hardjono terdiam. Tak bisa berkata apa-apa sebab memang tak ada satupun yang Hani katakan bisa ia sanggah.

...

'' Mbak, sudah semuanya , ya. '' Salah satu perempuan berambut pendek menghampiri, membuat Hani seketika menoleh dan mengangguk saat mereka semua mengatakan telah selesai dan pamit usai mengucapkan terima kasih .

Tak berselang lama, setelah empat orang tadi pergi , sebuah sepeda motor membawa dua orang pria berhenti tepat didepan Hani dan Hardjono yang belum sempat beranjak.

Mereka menyapa dan mengaku sebagai orang yang tertarik untuk membeli motor yang Hani tawarkan di aplikasi jual beli online.

Hani menyambut ramah dan mereka pun langsung terlibat transaksi .

Sementara Hardjono memilih tak ikut campur dan masuk ke dalam rumah.

Beberapa puluh menit dihabiskan dengan tawar menawar. Hingga akhirnya kedua belah pihak setuju mengenai harga, dan Hani pun resmi melepaskan benda terakhir peninggalan suaminya.

Setelah urusan pembayaran melalui via transfer selesai, ke dua lelaki tersebut pamit dan pergi membawa serta motor yang kini sudah berpindah kepemilikan.

Sesaat Hani terpaku . Menatap si roda kesayangan yang semakin jauh dari pandangannya.

Sesak yang tadi sempat ia rasa, perlahan menghilang . Ia merasa, apa yang selama ini membelenggunya terangkat dan itu membuatnya lega. Pertanda jika yang ia lakukan adalah hal yang memang seharusnya ia lakukan.

Hani tersenyum tipis. Rasanya sungguh lega, karena satu urusannya telah benar-benar selesai . Kini ia hanya perlu menyelesaikan sisanya.

Hani pun memutar tubuh dan membawa langkahnya masuk ke rumah dan bersiap untuk menyelesaikan hal terakhir.

Tolong Ceraikan Aku, MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang