Kesakitan terlihat menjadi sebuah kesenangan bukan kedukaan. Babak belur terlihat menjadi sebuah sensasi menyenangkan bukan sesuatu yang harus dirasakan sebagai rasa sakit yang mendera raga.
Mungkin itu yang terlihat tiga tahun belakangan ini. Deraan batin seperti sudah menjadi cemilan sehari-hari. Cengkeraman, hantaman, pukulan, dorongan keras memilih tempat-tempat yang bisa tersembunyi oleh pakaian, menjadikan raga kebal dan kebas tidak bisa merasakan apa-apa di banyak kesempatan.
Meringkuk dan menarik selimut bukan karena kebahagian setelah sebuah percintaan yang panas dan hebat seperti biasa. Tapi karena percintaan itu diiringi kemarahan yang meluap.
Lintang Dianti menatap Rafael yang dengan tenang menyisir rambutnya. Pria itu yang baru saja kalap selama hampir tiga puluh menit lamanya, dengan tampang tanpa dosa, berdiri menjulang di depan sebuah cermin besar. Memantas dirinya dengan setelan bersih dan rapi yang pas di badan.
"Bagaimana?"
Lintang mengedip saat Rafa berbalik ke arahnya dan tersenyum lebar.
"Oke, Mas."
Rafa mengangguk percaya diri. Lintang menunduk dan menekuni jemarinya yang bertaut di atas selimut. Rafa tidak melakukan gerakan apa-apa setelah mendengar jawaban singkatnya. Seharusnya hal itu yang dia lakukan tadi saat pertama datang ke rumah itu. Jawaban singkat dengan senyuman manis. Hanya menjawab singkat ketika ditanya. Bukan bertanya apalagi mengkonfrontasi Rafa seperti tadi.
"Apa maksud kamu dengan mendaftar menjadi tenaga pendidik di lembaga kursus yang dibuat oleh Prof Garin Mas?"
Lintang mencoba mengingat-ingat apakah dia menyertakan nada seru dalam pertanyaannya tadi? Dia menggeleng pelan.
"Kenapa menggeleng dan wajah kamu masam seperti itu."
Lintang sontak mendongak. Rafa yang sesaat tadi kembali menghadap ke cermin, nyatanya sudah berbalik lagi ke arahnya. Dengan gugup Lintang meniupkan udara dari mulutnya ke telapak tangannya yang tertutup lalu meletakkannya ke telinga. Dia mengulangi gerakan itu di kedua telinganya.
"Telinga aku berdenging, Mas."
Mulut Rafael mencebik. Pria itu melepaskan dasinya dan meletakkan dengan sangat hati-hati ke laci. Dia juga melepaskan setelannya dan menyimpannya di lemari. Menyisakan dirinya yang bertelanjang dada dan melangkah tak acuh keluar dari kamar tidur.
Bibir Lintang mengatup. Dia menatap kosong pintu yang tertutup. Berkali-kali merasa bodoh namun dia hanya tahu jalan kembali pada sosok Rafael dan berpikir, mungkin memang benar dia tercipta dari tulang rusuk pria itu. Lengkap dengan kegilaannya. Termasuk ketika pagi-pagi sekali tadi, dia mendapati file pengajuan sebagai tenaga pendidik diterbitkan oleh Rafael pada Lembaga Pendidikan yang dibuat oleh Prof Garin. File itu disimpan Rafael di folder khusus di laptop yang dia tinggalkan di rumah itu.
Lintang mencoba meluruskan kakinya namun gagal. Sambungan tulang lututnya justru terasa nyeri. Dia menatap bayangan dirinya di cermin. Mengenaskan. Dia terhenyak dan menatap ponselnya yang berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Andi Maheswara membuat Lintang tersenyum kecut. Pemuda itu pasti sudah tahu apa yang Rafael lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEFTOVERS LADY
RomanceTentang Giana Putri yang diuber semua hal. Terutama diuber orang tuanya untuk segera menikah karena umurnya yang sudah dua puluh delapan tahun. Lalu lini masa dalam hidup membawanya masuk ke keluarga Danurwendo. Giana yang polos dan hanya mengerti b...