Bab 61. Jiwa yang Bersedih

1.3K 429 58
                                    

Kebingungan masih menyelimuti Lintang Dianti yang bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya yang dipeluk oleh Andi Maheswara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebingungan masih menyelimuti Lintang Dianti yang bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya yang dipeluk oleh Andi Maheswara. Dia menoleh pada Rion dan pria itu nampak tenang.

Lintang menahan napas dan berusaha menguasai dirinya. Dia marah pada pemuda itu yang jelas-jelas mengacaukan hidupnya dengan cara halus dan licik. Tapi dia menyadari satu hal tentang bahwa ketika seorang pria sampai menangis seperti itu, dia tengah berada dalam kondisi tidak baik-baik saja.

"Bangun Ndi. Tidak enak dilihat orang." Lintang berkata dengan nada datar. Bagaimana pun situasi Andi sekarang, kejengkelannya pada pemuda itu benar-benar besar.

Rion akhirnya turun tangan dan beranjak meraih Andi dan membantu pemuda itu duduk. Dia membuka sebotol air mineral dan mengulurkannya pada pemuda itu. Pemuda itu, jelas tidak terlihat baik-baik saja. Dia nampak kelelahan dan dari wajahnya nampak kalau dia sedang khawatir.

"Kamu tahu dari mana nomor telpon ku Ndi?" Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari mulut Lintang setelah Andi meminum airnya dan meletakkan botol ke meja.

"Mbak Lintang menelpon ibu tadi. Aku...lari kemari sambil memeriksa..." Andi memperlihatkan ponselnya.

"Menelpon ibu kamu? Tadi? Aku tidak melakukannya. Dan apa dia ada di sini? Masih manusia dia...?"

Suara Lintang memburu dan dia baru berhenti ketika Rion menggeleng dan meremas tangannya. Lintang berusaha mengatur napasnya.

"Ibu Mbak...Bu Indarti."

"Heh?" Lintang nampak jengah dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Andi. "Kamu bilang...ibu? Sejak kapan kamu memanggil ibuku dengan sebutan ibu? Kamu memanggil ibuku Nyonya. Sama seperti ibu kamu memanggilnya." Penekanan kata Nyonya yang diucapkan Lintang menjelaskan segalanya. Bahwa di masa lalu panggilan itu dilakukan dengan sarat sindiran. "Kenapa kamu mendadak cengeng! Heh... berhenti menangis!" Lintang terhenyak dan menggeram ke arah Andi yang justru menangis lagi. Kali ini dengan lebih kalap seakan dia sudah tidak kuat menahan sesuatu di hatinya.

"Dek...sabar..." Rion meremas tangan Lintang lagi dibarengi dengan usapan di punggungnya. "Andi...maaf ya...tapi Mas minta kamu tenang. Banyak yang harus kami kerjakan setelah ini. Jadi kalau pun ada masalah yang kamu ingin selesaikan dengan Mbak Lintang, sebaiknya setelah kami selesai mengurus Pak Jagad. Bagaimana. Tenang dulu ya..."

"Aku bukan anak Niken Palupi, Mbak. Aku anak Indarti Laksana."

Lintang yang menatap Andi lekat, matanya segera terbelalak. "Tidak ada anak atau saudara laki-laki berlaku seperti apa yang kamu lakukan, Ndi. Berhenti membual. Ini tidak lucu."

"Aku tidak bohong Mbak. Aku tidak sedang membual atau membuat ulah. Dan apa yang aku lakukan selama ini karena aku tidak tahu yang sebenarnya."

"Huuh..." Lintang membuang pandangannya ke kejauhan. Kubah masjid Sultan tertimpa cahaya matahari yang mulai condong ke barat.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang