Bab 115. Gadis dalam Jebakan adalah Senjata yang Mematikan

1K 307 28
                                    

”Wanita itu seperti kebingungan atau apa? Atau dia memang tidak memiliki rencana yang matang? Atau memang dia senang berubah-ubah pikiran? Merefresh semua rencananya semau dia?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

”Wanita itu seperti kebingungan atau apa? Atau dia memang tidak memiliki rencana yang matang? Atau memang dia senang berubah-ubah pikiran? Merefresh semua rencananya semau dia?”

”Dia mencoba melihat peluang yang lebih menguntungkan. Itu saja.”

”Apa yang dia inginkan dari Andi sebenarnya? Rafael bahkan tidak menyukai kehadirannya. Itu potensi bahayanya lebih besar kan Mas?”

Rion mengangguk dan menarik napas sangat panjang sementara Gempar membenahi kancing bajunya. Dia baru saja mandi di penginapan dan menyusul Rion dan Lintang Dianti ke sebuah klinik. Mereka memutuskan segala sesuatu dengan cepat dan menyimpulkan bahwa mereka tidak mungkin kembali ke rumah sakit di mana Lintang Dianti melahirkan.

”Bagaimana rencana kamu selanjutnya?”

”Mas Rion aman dulu. Karena aku yakin Bu Niken Palupi pasti masih menyisakan orang-orangnya di sini.”

”Kurasa kita cukup aman saat berpindah kemari dan tidak ada yang mencurigakan mengikuti kita. Bagaimana?”

”Bapak mengirimkan 4 orang kemari Mas. Begitu mereka sampai aku langsung ambil penerbangan ke Yogya.”

”Ya Allah. Ini benar-benar merepotkan semua orang.”

”Tidak apa-apa, Mas. Kita harus benar-benar teliti sedetil mungkin sekarang.”

Rion mengangguk dan mereka beranjak saat dokter keluar dari ruang rawat inap di klinik ibu dan anak itu. Rion berbicara sebentar dengan dokter dan Gempar masuk ke kamar di mana Lintang Dianti berada.

”Selamat ya Mbak.”

”Matur nuwun, Dek."

Gempar tersenyum dan tangannya terulur menyentuh pipi di pangkuan Lintang. ”Cantik sekali. Siapa namanya?”

”Bora Maulida Az-Zahra. Andi yang memberi nama.”

”Oh...anak itu...so sweet sekali.” Gempar menerima Bora dari tangan Lintang Dianti. Rasa canggung itu tetap ada mengingat mereka tidak pernah begitu akrab di masa lalu. Mereka hanya bicara seperlunya setiap Lintang berkunjung ke Griya Bausasran.

Mereka menoleh dan mendapati Rion masuk dengan plastik berisi vitamin dan obat. Pria itu meletakkan obat di atas nakas dan mendekati Gempar. Dia tersenyum dan menggenggam tangan kecil Bora lembut.

”Mas. Aku tidak mau pergi dengan wanita itu.”

Pembicaraan yang dibuka oleh Lintang nampaknya akan sangat pribadi. Ada ketakutan di suaranya. Ketakutan kalau-kalau Rion tidak percaya padanya. Gempar hendak beranjak namun Rion menggeleng.

”Aku tahu. Sekarang ada yang lebih penting. Kamu pulih, Bora sehat dan semua orang sedang memikirkan bagaimana harus membawa keluar Andi. Ada yang kamu tahu?”

”Jurnal itu. Yang ditulis oleh Rafael, aku membacanya. Sudah lama, waktu aku membeli rumah di Jalan Arjuna No 3. Di Solo.”

Gempar dan Rion menyimak dengan serius apa yang dikatakan ole Lintang.

LEFTOVERS LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang